Jumat, 05 Desember 2008

KUMPULAN PUISI PERSAHABATAN


INDAHNYA PERSAHABATAN


Tiada mutiara sebening cinta..

Tiada sutra sehalus kasih sayang..

Tiada embun sesuci ketulusan hati..

Dan tiada hubungan seindah persahabatan..



Sahabat bukan

MATEMATIKA yang dapat dihitung nilainya..

EKONOMI yang mengharapkan materi..

PPKN yang dituntut oleh undang-undang..


Tetapi

Sahabat adalah SEJARAH yang dapat dikenang sepanjang masa..


Arti Persahabatan

Hidup ini bagaikan teka teki
di mana kita harus menebak ......
semua tangga yg terlihat hitam ataupun putih
kadang di saat kita bahagia sekali pun

Bagaikan air yg terus mengalir
tanpa menghiraukan .......
bahwa esok akan ada yg menantikan kesedihan
di saat dan dengan keadaan apa pun

Aku bisa merasakan arti persahabatan
yang seutuhnya ya.......itulah kawanku , temanku...
sahabatku yg selalu membuat aku
melupakan kesedihan dan kembali melangkah dengan ceria ....

Ku angkat wajahku......
ku buang rasa sakitku.....
ku ringankan langkahku....
ku ayun tanganku......

Satu hal yg akan ku ingat selamanya
Satu sahabat lebih baik dari apa pun
Karena dia mampu memberikan pegangan
Di saat kita terhuyung dan terjatuh
Dia jg mampu membuat kita tersenyum kembali dalam canda tawanya ...



Sepatah Kata Buat Sahabatku



Bisik jiwa tlah terputus dalam satu hembusan nafas
Janji suci tlah kau ingkari tuk bersama
Dalam tawa dan duka
Yakinlah selalu … sobat
Bawa segala luka yang menyobek hatimu
Adalah pisau yang mengalir di setiap tetes darahku
Kesedihan yang nampak di raut mukamu
Adalah kepedihan terdalamku
Ketidakramahan dirimu adalah penyobek hatiku
Taukah kau sobat?
Bahwa secercah tawa yang dulu slalu menghiasi wajahmu
Kini tlah pudar dan bukan lagi
Kebanggaan dalam tali hati antara kau dan aku
Kini kau telah melepas jemari itu
Padahal aku rapuh tanpa tangan itu
Aku ingin kau selalu menjaga dan melindungiku
Sobat …
Sebuah tamparan yang selalu kudapat bila kusalah
Sebuah bimbingan yang selalu merangkulku bila kulemah
Kini tak akan pernah kudapati lagi
Kemana aku harus mencari itu semua?
Kau pergi tanpa mengucap sepatah kata pun
Kau telah memutus persahabatan itu
Persahabatan yang suci
Kini tlah kau nodai dengan kebungkaman, kebohongan, dan kebosanan
Semuanya penuh kepura-puraan
Kau jadikan persahabatan
Sebagai tempat berlabuh
Tuk mencari pengalaman kehidupan
Kenapa kau lakukan ini?
Ku diam dalam kebungkaman yang penuh kesakitan
Sedangkan dirimu tertawa penuh keriangan
Lalu kini ku bertanya:
Apa menurutmu seorang sahabat?
And sahabat yang tulus seperti apa?
Kau hanya diam tak bisa menjawab
Sobat …

Maafkan diri ini bila diri ini bersalah
Meski kau telah pergi
Bagiku kau selalu ada dalam hatiku
Karena kau adalah sahabatku
Dari dulu dan sampai kapan pun



Untuk Seorang Sahabat


Mungkin waktu kan terus berlalu, membawa buih-buih pergi menjauh. Dan manusia hanyalah butir pasir berserak di hamparan zaman, yang mengikuti kemana angin takdir berhembus. Dan mungkin waktu melapukkan batu, membuat besi menjadi karat; Mengubah dunia menjadi tidak seperti yang kita kira dan angankan. Walau sungguh pun waktu berkuasa, persahabatan sejati takkan mudah pudar olehnya.

Akan kenangan saat mimpi-mimpi bersemi semerbak, dan akan kenangan saat mimpi-mimpi terhempas berkeping di jalan berlubang kehidupan — dan kau ada di sana sebagai sahabat yang memahami segala keluh kesah. Atas kebaikan yang mungkin tidak kau sadari, oleh sekedar canda yang membuat hidup ini lebih memiliki arti; menjauhkan rasa nyeri sedari.

Dan sahabat, jika apa yang kita miliki memang persahabatan yang tulus, maka ada tali silaturahmi yang mesti kita jaga. Walau jarak merenggangkan ikatan, dan harapan-harapan membawa kita berlayar ke negeri-negeri asing; ketahuilah bahwa ada seorang sahabat yang akan membantumu jika engkau membutuhkannya.

Kado ini tak lebih berharga ketimbang kebaikanmu selama ini. Hanya sekeping tanda mata agar kau tak lupa, bahwa ada – ada bahagia untuk menjadi seorang saudara.


sahabat


kau adalah sahabatku teman pelipur laraku
bersamamu aku bisa ber bagi
cerita indah
cerita tentang kegagalanku dan dengan mu pula aku bisa tuangkan segala keluh kesahku..

sahabat…
saat kau sedih aku menangis
saat kau terluka hatiku tercabik
saat kau gundah aku selalu resah

sahabat
dimana jangan kau anggap aku orang lain
aku adalah dirimu
aku adalah saudaramu
aku siap korban kan jiwaku agar
kekal persahabatan kita


Puisi untuk sahabat


sahabatku………
seberat apapun masalahmu
sekelam apapun beban hidupmu
jangan pernah berlari darinya
ataupun bersembunyi
agar kau tak akan bertemu dengannya
atau agar kau bisa menghindar darinya
karena sahabat…..
seberapa jauhpun kau berlari
dan sedalam apapun kau bersembunyi
dia pasti akan menemuimu
dalam sebuah episode kehidupanmu
sahabatku……
alangkah indahnya bila kau temui ia dengan dada yang lapang
persilahkan ia masuk dalam bersihnya rumah hati
dan mengkilapnya lantai nuranimu
hadapi ia dengan senyum seterang mentari pagi
ajak ia untuk menikmati hangatnya teh kesabaran
ditambah sedikit penganan keteguhan
sahabat…….
dengan begitu
sepulangnya ia dari rumahmu
akan kau dapati
dirimu menjadi sosok yang tegar
dalam semua keadaan
dan kau pun akan mampu dan lebih berani
untuk melewati lagi deraan kehidupan
dan yakinlah sahabat……..
kaupun akan semakin bisa bertahan
kala badai cobaan itu menghantam


Persahabatan


Sahabat adalah dia menghampiri ketika seluruh dunia menjauh
Karena persahabatan itu seperti tangan dengan mata
Saat tangan terluka, mata menangis
Saat mata menangis, tangan menghapusnya


Untukmu Sahabat……….


Seindah cahaya pagi yang menyingsing pagi……
Seindah belaian katulistiwa yang memancar………
Seindah gelora kasih yang bersemayam direlung hati……….
Seindah persahabatan yang hari ini kita jalin…….
Bintang-bintang bersinar gemerlap………
Rembulan tersenyum dengan indahnya…….
Komet Halley berlintas dengan cemerlang……….
Seindah persahabatan yg hari ini kita rekat……..
Ku bersyukur mendapakan engkau kawan….
Ku bersyukur berteman denganmu kawan…
Ku berharap ini tak kan bias……….
Ku berharap ini kan nyata……….
Satu yang ku harapkan darimu teman………
Jadikan hidup ini indah dengan kepedulian………
Kepedulianmu terhadap sekelilingmu…..
Kepedulianmu terhadap temanmu kawan……….


kawan


kawan……..
engkau telah mengisi hari hari ku
dengan canda tawamu
nampak diwajahmu
ceria nan rupawan

kawan……
begitu bertartinya kau
dalam hidup ini
serasa hampa
jika kau tak disisi
kumelangkah tanpamu disamping
serasa diruang tak berpenghuni
walau kuberada dikeramaian
rasa linglung
jika kau tak menemani
tak tahu berbuat apa
tanpamu disisi

kawan…….
kaulah tempat curahanku
tempat curahan dari segala gundaku
kapanpun dimanapun bagaimanapun
dalam keadaan apapun
kau….selalu ada untukku
selalu ada disetiap kubutuh
tak nampak sedetil molekul terkecil
keluh kesa dihatimu
untuk menemaniku

kawan………
begitu besar jasamu
kata terimakasih
bahkan berbuat
tak cukup membalas jasamu
terimakasi berjuta
berbuat segala untukmu
tak dapat mewakili
terimakasihku untukmu
kawan….
betapa besar jasamu
tak dapat diungkap dengan kata
andaikan air laut sebagai tinta
bahkan seisi bumipun tak cukup sebagai tinta
untuk menuliskan jasamu

kawan……..
kuingin selau bersamamu
rasa tak ingin kulalui waktu
tanpamu
kawan……
kuingin selalu dekatmu
rasa tak ingin ada antara denganmu
kawan……
ku tak ingin pisah dari mu
rasa gunda tanpa mu
disampingku
kawan….
jangan pergi dariku


Pelangi Persahabatan



Lihat langit biru
Disana ada pancaran warna
Beragam indah warna
Penuh makna

Kita semua berbeda
Beragam suku dan kepercayaan
Namun kita tetap Satu
Indah bagai pelangi

Indah masa remaja
Tawa canda bersama
Namun adakala kita menangis
Suatu saat nanti kita berpisah

Namun persahabatan…
Akan satukan kita
Kita berkumpul bersama
Kita akan bersatu
Indah seindah pelangi

Kawan kau selalu di hati
Kau begitu berarti
Tak akan terlupakan
Sampai akhir hidup ini


Persahabatan


Kata orang…..
Ibarat tangan dan mata
maka terangkailah sebuah kata “PERSAHABATAN”
Pada saat tangan terluka, mata meneteskan air,
dan ketika mata meneteskan air,
tangan juga yang mengusap air itu

Indah ternyata
tapi punya banyak arti, walaupun hanya
seuntai kata “PERSAHABATAN”…
kadang pelakunya sering salah mengartikan…atau
ada juga yang dengan sengaja mengabaikan..
entah karena rasa egois, atau mungkin karena
perputaran roda kehidupan yang selalu menuntut
untuk kita selalu mengikuti roda kehidupan yang berputar

Tidak semudah itu dipahami…
tapi andaikan kita mencoba sesaat saja….
berada di posisi mereka yang dengan tulus mengartikan kata itu….
maka kita akan tahu makna sesungguhnya
KEJUJURAN, KEPERCAYAAN, KESETIAAN…..
semua itu terpatri jelas didalam kata itu
tinggal bagaimana sebagai pelaku kita menjalaninya
Cukup sulit menjalaninya tidak semudah diungkapkan

Karena tanpa kejujuran, kepercayaan dan kesetiaan
maka PERSAHABATAN hanyalah sebuah tulisan kosong belaka
tanpa makna apapun, tetapi…
itu bukan berarti kita harus menutup mata…
ketika KETIDAKJUJURAN itu hadir
karena pada saat itulah kita menang
dalam satu ronde peristiwa yang disebut “KEHIDUPAN”

PERSAHABATAN


Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan
dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan
mempunyai nilai yang indah.

Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi
persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan
bertumbuh bersama karenanya…

Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi
membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkanbesi,
demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya. Persahabatan
diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur-disakiti,
diperhatikan-dikecewakan, didengar-diabaikan, dibantu-ditolak,
namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan
dengan tujuan kebencian.Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan
untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya
ia memberanikan diri menegur apa adanya.

Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman,
tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan
dengan tujuan sahabatnya mau berubah.

Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha
pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita
membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi
mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih
dari orang lain, tetapi justru ia beriinisiatif memberikan
dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya.

Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya,
karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis.
Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati,
namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya.
Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun

ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya.


Sumber : dari berbagai situs terpilih



Senin, 01 Desember 2008

KEBIJAKAN PUBLIK SEBAGAI KEPUTUSAN-KEPUTUSAN YANG MENGANDUNG KONSEKUENSI MORAL

I. KEADILAN SOSIAL
Tolak ukur keberhasilan pranata publik yang harus diperhatikan ialah terwujudnya keadilan sosial. Nilai keadilan sosial ingin dicapai dengan tujuan tersusunnya suatu masyarakat yang seimbang dan teratur sehingga seluruh warga negara memperoleh kesempatan guna membangun suatu kehidupan yang layak dan mereka yang lemah kedudukannya akan mendapatkan bantuan seperlunya. Keadilan sosial merujuk kepada masyarakat atau negara yang dapat berfungsi sebagai subyek maupun objek. Mewajibkan negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum serta membagi beban dan manfaatnya kepada para warga negara secara proporsional.
Negara kesejahteraan juga merupakan cita-cita bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa pemerintah ditugaskan untuk “memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Disamping itu pasal-pasal UUD 1945 banyak menuangkan ketentuan-ketentuan mengenai pentingnya kesejahteraan bagi setiap warga negara.
Sesuai dengan prinsip keadilan distributif, keadilan sosial mengandaikan adanya distribusi barang dan sumber-sumber daya secara adil. Kebijakan-kebijakan publik harus menjamin pemerataan sumber-sumber daya yang terdapat disuatu negara, dan yang lebih penting ialah bahwa ia harus menguntungkan kelompok atau kelas yang paling tak beruntung yaitu kaum fakir dan miskin.
Setelah merasakan adanya ekses-ekses yang timbul akibat timpangnya distribusi hasil pembangunan, pemerintah kemudian menggariskan rumusan Delapan Jalur Pemerataan bagi proyek-proyek pembangunan di Indonesia. Kedelapan jalur itu ialah : (1) Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, (2) Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan, (3) Pemerataan distribusi pendapatan, (4) Pemerataan kesempatan kerja, (5) Pemerataan pembangunan, (6) Pemerataan partisipasi dalam pembangunan, (7) Pemerataan penyebaran pembangunan diseluruh tanah air, dan (8) Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan hukum.
II. PARTISIPASI DAN ASPIRASI WARGA NEGARA
Secara umum corak partisipasi warga negara dapat dibedakan menjadi 4 macam :
1. Partisipasi dalam pemilihan. Partisipasi untuk memilih wakil-wakil rakyat, mengangkat pemimpin, atau menerapkan ideologi pembangunan tertentu.
2. Partisipasi kelompok. Warga negara bergabung dalam kelompok-kelompok tertentu untuk menyuarakan aspirasi mereka, sebagai sarana penengah antara pejabat dan warga negara.
3. Kontak antara warga negara dan pemerintah. Proses komunikasi dapat terjalin antara warga negara dengan pemerintahnya dengan cara menulis surat, menelpon, atau pertemuan secara pribadi atau bisa berlangsung dalam pertemuan-pertemuan mulai tingkat desa hingga rapat akbar yang melibatkan seluruh warga di sebuah kota, atau lokakarya dan konferensi yang membahas masalah-masalah khusus.
4. Partisipasi warga negara secara langsung dilingkungan pemerintahan. Misalnya saja jika terdapat seorang tokoh masyarakat yang didudukan sebagai wakil rakyat dilembaga-lembaga pembuat kebijakan. Cara lain ialah dengan menggaji client dari suatu program untuk menjadi pelaksana program itu sendiri.

III. MASALAH-MASALAH LINGKUNGAN
Kemajuan teknologi dan pembangunan fisik telah membawa kemajuan peradaban manusia yang luar biasa. Namun beberapa dasawarsa terakhir ini industrialisasi dan pembangunan yang kurang terencana mulai menghasilkan berbagai kekhawatiran berkenaan dengan masalah kelestarian alam dan lingkungan.
Tampak bahwa kebijakan yang menyangkut lingkungan dan kualitas hidup mengharuskan adanya strategi-strategi yang terpadu. Setidak-tidaknya ada lima aspek yang perlu mendapat perhatian.
Pertama, dari sudut kependudukan, pemerintah harus menyediakan wilayah-wilayah permukiman yang sehat, pembukaan lahan transmigrasi tanpa mengganggu potensi sumber daya alami, atau memperbaiki kualitas hidup dilingkungan kumuh perkotaan.

Kedua, masalah lingkungan dapat dilihat dari aspek pembangunan sektoral
Ketiga, pendekatan masalah lingkungan dari aspek media lingkungan seperti tanah, air, atau ruang.
Keempat, masalah lingkungan tidak terlepas dari unsur-unsur penunjang, misalnya pendidikan, pengembangan ilmu dan teknologi, pengaturan aparatur, atau pembebanan biaya terhadap konservasi lingkungan.

IV. PELAYANAN UMUM
Sadar atau tidak, setiap warga negara selalu berhubungan dengan aktivitas birokrasi pemerintahan. Untuk memperoleh pelayanan yang sederhana saja, pengguna jasa sering dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang terkadang mengada-ada.
Kelambanan pelayanan umum tidak hanya disebabkan oleh kurang baiknya cara pelayanan ditingkat bawah. Ternyata masih banyak faktor yang mempengaruhi begitu buruknya tata kerja dalam birokrasi. Sikap pandang organisasi birokrasi pemerintahan kita, misalnya, terlalu berorientasi kepada kegiatan dan pertanggungjawaban formal. Penekanan kepada hasil atau kualitas pelayanan sangatlah kurang, sehingga lambat laun pekerjaan-pekerjaan dalam organisasi menjadi kurang menantang dan menggairahkan.
Kencenderungan lain yang melekat di dalam birokrasi adalah kurang diperhatikannya asas keterjangkauan dan pemerataan dalam pelayanan. Secara normatif birokrasi seharusnya memihak kepada golongan miskin atau kelompok-kelompok pinggiran karena merekalah yang perlu dibantu untuk ikut menikmati hasil-hasil pembangunan.
Lebih dari itu masalah kekakuan prosedur juga melanda institusi-institusi pemerintah yang seharusnya melaksanakan aktivitas secara profesional. Kita bisa melihat betapa kurang lincahnya manajemen PLN atau Badan Usaha Milik Negara lainnya jika dibandingkan dengan manajemen perusahaan-perusahaan swasta.
Bentuk organisasi birokrasi yang diharapkan memiliki daya tangkap yang baik terhadap kepentingan-kepentingan umum adalah bentuk organis-adaptif.


Ciri-ciri pokok yang terdapat dalam struktur yang organis-adaptif antara lain :
1. Berorientasi kepada kebutuhan para pemakai jasa.
2. Bersifat kreatif dan inovatif.
3. Menganggap sumber daya manusia sebagai modal tetap jangka panjang.
4. Kepemimpinan yang memiliki kemampuan mempersatukan berbagai kepentingan dalam organisasi, sehingga dapat menyumbangkan sinergisme.

V. MORAL INDIVIDU ATAU KELOMPOK
Mempelajari etika berarti memahami sifat dasar tindakan manusia, pertentangan moral yang ada dibatinnya, pertimbangan moral yang mendasarinya, kesadaran moral yang menuntun prilakunya, kewajiban-kewajiban moral mereka sebagai makhluk yang paling sempurna, dan juga kelakuan moral yang tampak dalam kehidupannya sehari-hari.
Ada dua sisi normatif yang melekat dalam tindakan dan keputusan para pejabat negara :
1. Aspek lazim yaitu cara-cara dimana kebijakan dan praktek pelaksanaan tugas pegawai negeri mendukung sikap-sikap dan titik tinjauan yang memungkinkan tanggung jawab atas kinerja , memperhitungkan kepentingan banyak pihak, pejabat-pejabat atasan, mandat legislatif, dan akhirnya kesejahteraan publik yang akan menjadi kewajiban pegawai-pegawai negeri serta mempengaruhi prilaku mereka.
2. Aspek terbatas yaitu cara-cara dimana pertanggungjawaban moral untuk kebijakan-kebijakan yang masuk akal itu sendiri dilaksanakan.
Moral individu mensyaratkan bahwa dalam hubungannya dengan orang lain seseorang harus mengikuti norma-norma etis dan melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai pertanggungjawaban antar manusia. Sedangkan moral kolektif terbentuk karena tergabungnya pertanggungjawaban didalam suatu kelompok sehingga proses tindakan-tindakan etis yang terwujud itu terbentuk karena persetujuan diantara individu-individu yang terdapat didalamnya.



VI. PERTANGGUNGJAWABAN ADMINISTRASI
Pertanggungjawaban biasanya diartikan sebagai proses antar pribadi yang menyangkut tindakan, perbuatan, atau keputusan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain sehingga ia dapat menerima hak dan wewenang tertentu berikut sanksi yang menjadi konsekuensinya. Akan tetapi dalam administrasi publik pertanggungjawaban mengandung tiga konotasi.
1. Pertanggungjawaban sebagai akuntabilitas.
Terdapat dua bentuk akuntabilitas, yaitu : akuntabilitas eksplisit dan akuntabilitas implisit. Akuntabilitas eksplisit merupakan pertanggung jawaban seorang pejabat negara manakala ia diharuskan untuk menjawab atau memikul konsekuensi atas cara-caranya dalam melaksanakan tugas-tugas kedinasan. Sedangkan akuntabilitas implisit berarti bahwa segenap aparatur negara secara implisit bertanggungjawab atas setiap pengaruh yang tak terduga dari akibat-akibat keputusan yang dibuat.
2. Pertanggungjawaban sebagai sebab-akibat.
Pertangunggjawaban ini muncul bila orang mengatakan bahwa suatu lembaga diharuskan untuk mempertanggungjawabkan jalannya suatu urusan.
3. Pertanggungjawaban sebagai kewajiban.
Apabila seseorang bertanggung jawab dalam artian kewajiban untuk melakukan sesuatu.
Tipe-tipe sistem pertanggungjawaban :
1. Pertanggungjawaban birokratis adalah mekanisme yang secara luas dipakai untuk mengelola kehendak-kehendak lembaga negara.
2. Pertanggungjawaban legal adalah mirip dengan bentuk birokrasi karena ia juga melibatkan penerapan kontrol yang terus menerus atas aktivitas administrasi negara.
3. Pertanggungjawaban profesional, dicirikan oleh penempatan kontrol atas aktivitas-aktivitas organisasional ditangan para pejabat yang punya kepakaran atau keterampilan khusus dalam melaksanakan suatu pekerjaan.
4. Pertanggungjawaban politis merupakan sistem pertanggungjawaban yang sangat dibutuhkan bagi administrator di negara-negara demokratis.


VII. ANALISIS ETIS
Tidak Mudah untuk menilai tindakan-tindakan seseorang, apakah sudah sesuai dengan norma etika atau belum. Apalagi kalau tindakan tersebut berproses melalui serangkaian keputusan yang panjang.
Konsep moralisme legal dapat dirumuskan dari dua sisi tuntutan yang menyangkut tindakan manusia yaitu :
1. Sisi ”moralis”, bahwa tindakan-tindakan tertentu memang secara intrinsik dapat disebut salah.
2. Sisi ”legal”, bahwa tindakan-tindakan yang salah adalah tindakan-tindakan yang ilegal atau melawan hukum.
Tipe-tipe pelanggaran atau permasalahan :
1. Ketidakjujuran
Para pejabat negara selalu punya peluang untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak jujur dalam tugas-tugasnya. Berbagai pungutan liar atau penggelapan merupakan contoh yang paling nyata.
2. Perilaku yang buruk
Tindakan penyuapan, pemberian uang sogok, suap, atau uang semir merupakan contoh perilaku yang buruk.
3. Konflik kepentingan
Pembayaran uang jasa oleh para kontraktor kepada pejabat pemerintah mungkin dianggap wajar kalau itu dilakukan secara sukarela. Tetapi jelas ada perbedaan normatif jika pemberian itu dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan yang hendak diambil pejabat tersebut.
4. Melanggar peraturan perundangan
Bertindak tanpa wewenang yang sah dan melanggar peraturan-peraturan yang berlaku.
5. Perlakuan yang tidak adil terhadap bawahan
Seorang pegawai kerapkali diberhentikan oleh atasannya dengan alasan yang tidak berhubungan dengan tindakan yang tidak efisien atau kesalahan lainnya.


6. Pelanggaran terhadap prosedur
Prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah kadang-kadang tidak tertulis dalam perundangan, tetapi sesungguhnya prosedur itu punya kekuatan seperti peraturan perundangan dan karena itu setiap instansi akan lebih baik jika melaksanakannya secara konsisten.
7. Tidak menghormati kehendak pembuat peraturan perundangan
Pejabat-pejabat negara dalam tindakannya telah sesuai dengan peraturan perundangan dan prosedur yang berlaku. Meskipun demikian bukan tidak mungkin bahwa mereka sebenarnya gagal dalam mengikuti kehendak pembuat peraturan.
8. Inefisiensi dan pemborosan
Pemborosan dana, waktu, barang, atau sumber-sumber daya milik organisasi tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawaban adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
9. Menutup-nutupi kesalahan
Pejabat publik seringkali menolak untuk memberikan keterangan yang sesungguhnya kepada badan-badan legislatif karena merasa bahwa penyimpangan-penyimpangan dalam organisasinya adalah tanggungjawabnya sendiri, sehingga badan legislatif kemudian diabaikan.
10. Kegagalan mengambil prakarsa.
Tidak adanya prakarsa dapat disebabkan oleh :
- Ketakutan terhadap kritik yang mungkin terlontar meskipun organisasi sangat memerlukan perbaikan.
- Perasaan tidak aman untuk berbuat karena enggan mengambil resiko.
- Perasaan bahwa mengambil prakarsa berarti menambah pekerjaan.

EFEKTIVITAS PELAYANAN ADMINISTRASI DI SUB BAGIAN REGISTRASI DAN STATISTIK REKTORAT UNIVERSITAS BENGKULU

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam rangka untuk memberikan pelayanan suatu institusi pendidikan secara kontinyu harus mengadakan pembinaan kelembagaan, langkah ini penting untuk memperbaiki kualitas pelayanan dari waktu ke waktu. Milton Esman mengemukakan sebagai berikut :
“Pembinaan kelembagaan merupakan suatu perspektif dalam merencanakan dan mengarahkan perubahan sosial. Ia memperhatikan inovasi yang bermakna perubahan kulitatif. Dalam bentuk norma-norma pola prilaku, hubungan individu dan kelompok, persepsi baru tentang sasaran, demikian juga caranya. “ ( Dalam Bintoro T, dan Mustopadidjaya, 1993:41 )

Langkah pembinaan tersebut diperlukan oleh suatu lembaga/ institusi dikarenakan tingkat kepuasan yang diterima oleh pengguna layanan tentunya akan terus berubah seiring dengan baiknya tingkat pendidikan. Dengan demikian dalam upaya meningkatkan layanan diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan kontinyu agar apa yang diharapkan dapat tercapai.
Usaha meningkatkan pelayanan yang diberikan oleh suatu institusi merupakan faktor yang juga tidak bisa diabaikan adalah kualitas sumber daya manusia yang memadai dalam hal ini adalah pegawai institusi/ lembaga tersebut. Disamping memiliki kemapuan teknis, seorang pegawai juga dituntut untuk memiliki sikap dewasa dalam suatu lembaga/institusi. Anggiat M. Sinaga, dan Sri Hadiati WK, ( 2001 : 20 ), mengemukakan sebagai berikut :
Dalam suatu organisasi seyogyanya menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Pegawai tersebut ditempatkan dalam suatu jabatan organisasi dengan didasarkan atas kemampuan ( competency ) seorang dalam jabatan dimaksud.
b. Pegawai tersebut dipercaya dalam melaksanakan tugas.
c. Pegawai tersebut menunjukkan percaya diri dalam mengemban tugas dalam pengambilan keputusan.
d. Pegawai tersebut tidak diberlakukan sebagai anak kecil dalam arti senantiasa dituntun, dibimbing dan diajari dalam setiap pelaksanaan tugas yang ditetapkan.
e. Pegawai tersebut dapat mengetahui dampak yang baik dan yang buruk terhadap misi organisasi.
f. Pegawai tersebut dapat memanfaatkan berbagai peluang guna peningkatan kinerja organisasi.
g. Pegawai tersebut dapat mengembangkan hubungan kerja, jaringan kerja guna peningkatan kinerja dan efektivitas organisasi.
h. Pegawai tersebut mempunyai martabat, harga diri.

Untuk meningkatkan pelayanan kepada khalayak diperlukan adanya keterpaduan antara perbaikan fungsi dan peranan suatu institusi baik dari kelembagaan dan juga adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Walaupun pencapaian tingkat kepuasan tersebut merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah namun dengan adanya upaya terus menerus akan menciptakan suasana yang kondusif bagi terciptanya keinginan bersama.
Universitas Bengkulu sebagai salah satu Perguruan Tinggi merupakan suatu institusi yang memiliki tujuan pokok yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia dengan cara ilmiah yang meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Buku Penuntun Program Pendidikan Sarjana dan Diploma, 2005:3).
Dalam rangka pengelolaan pendidikan tinggi sesuai dengan PP Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, maka salah satu bentuknya adalah dengan membentuk unsur pelaksana administrasi yang merupakan perangkat yangmenyelenggarakan keseluruhan pelayanan teknis dan administrasi yang diperlukan dalam pengelolaan sumber daya ( manusia, sarana, dana dan pengelolaan program pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat).
Fungsi Sub Bagian Registrasi dan Statistik merupakan salah satu unsur penting dalam upaya memberikan pelayanan kepada mahasiswa, memegang peranan penting untuk mengatur dan mengorganisir berbagai hal yang berhubungan dengan administrasi kemahasiswaan. Langkah ini penting dikarenakan merupakan salah satu hak mahasiswa untuk memperoleh Kartu Mahasiswa, Kartu Rencana Studi, Kartu Hasil Studi dan Nomor Induk Mahasiswa, registrasi dan layanan pembayaran SPP untuk semua fakultas.
Adapun rincian tugas dari Sub Bagian Registrasi dan Statistik adalah :
1. Menyusun rencana dan program kerja tahunan Sub Bagian Registrasi dan Statistik Rektorat Universitas Bengkulu;
2. Menghimpun dan mengkaji peraturan perundang-undangan serta menyusun sarana pemecahan masalah di bidang registrasi dan statistik;
3. Mengumpulkan dan mengolah data kemahasiswaan;
4. Mempersiapkan bahan penyusunan petunjuk pelaksanaan registrasi mahasiswa;
5. Mempersiapkan Kartu Mahasiswa (KM), Kartu Rencana Studi (KRS), Kartu Hasil Studi (KHS) dan pemberian Nomor Induk Mahasiswa (NIM);
6. Melakukan urusan registrasi dan penyusunan statistik mahasiswa;
7. Melakukan penyimpanan dokumen dan surat dibidang registrasi dan statistik mahasiswa;
8. Menyusun laporan Sub Bagian Registrasi dan Statistik.

Kondisi obyektif di Sub Bagian Registrasi dan Statistik menunjukkan bahwa untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi mahasiswa masih menemui banyak kendala. Keadaan tersebut tidak bisa dilepaskan dari lingkungan rektorat dan disiplin dari pegawai yang berkewajiban memenuhi hak-hak yang dimiliki oleh mahasiswa khususnya di bidang registrasi. Adapun indikasi dati fenomena tersebut adalah :
1. masih kurangnya disiplin dalam pengaturan LHS.
2. penerimaan bea siswa kepada mahasiswa yang sering tidak tepat sasaran.

Dari kenyataan tersebut di Sub Bagian Registrasi dan Statistik di atas, mendorong penulis untuk mengadakan penelitian dengan judul “ Efektivitas Pelayanan Administrasi di Sub Bagian Registrasi dan Statistik Rektorat Universitas Bengkulu”.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut : “ Bagaimanakah Efektifitas Pelayanan Administrasi di Sub Bagian Registrasi dan Statistik Rektorat Universitas Bengkulu ? ”.

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data mengenai efektivitas pelayanan administrasi kemahasiswaan di sub bagian registrasi dan statistic rektorat Universitas Bengkulu.

1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Aspek Pengembangan Ilmu
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmiah dibidang administrasi Negara khususnya dalam efektivitas pelayanan Sub Bagian Registrasi dan Statistik di Rektorat Universitas Bengkulu.

1.4.2 Aspek Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Sub Bagian Registrasi dan Statistik di Rektorat Universitas Bengkuludalam pelaksanaan fungsi sesuai dengan tuntutan, yaitu meningkatkan kualitas pelayanan kepada mahasiswa.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektifitas Pelayanan Sub Bagian Registrasi Dan Statistik
2.1.1 Pengertian Efektivitas
Suatu system pelayanan administrasi biasanya terdiri dari berbagai unsure yang terintegrasi untuk melaksanakan kewenangan dan tugasnya masing-masing. Lembaga Administrasi Negara ( 1997 : 1 )menyatakan sebagai berikut :
“ Suatu system pada hakikatnya adalah seperangkat komponen, elemen, unsur atau subsistem dengan segala atributnya yang satu sama lain saling berkaitan, pengaruh-mempengaruhi dan saling tergantung sehingga keseluruhannya merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi atau suatu totalitas, serta mempunyai peranan atau tujuan tertentu. Nilai atau peranan suatu system akan dipengaruhi oleh nilai atau peranan sub-subsistemnya. Sebaliknya nilai atau peranan suatu subsistem akan ditentukan oleh nilai atau peranan system yang bersangkutan. Suatu system bersama dengan berbagai system lain yang lai berinteraksi merupakan sub-subsistem dari suatu system yang lebih besar. ”
Dari pendapat di atas terlihat bahwa sebagai suatu system memiliki hubungan yang erat satu bagian dengan bagian yang lainnya baik secara internal maupun eksternal. Untuk mencapai tujuan yang diembannya maka Universitas Bengkulu lebih efektif dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, sehingga kewajiban yang diembannya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Sondang P. Siagian ( 1994 : 151 ) memberikan pengertian efektivitas kerja sebagai penyelesaian pekerjaan tepat waktu yang telah ditetapkan, artinya apakah pelaksanaan suatu tugas dinilai baik atau tidak sangat bergantung bilamana tugas itu diselesaikan atau tidak terutama menjawab pertanyaan bilamana cara melaksanakan dan berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu. Efektivitas organisasi memusatkan perhatian utama pada gejala-gejala dalam lingkup organisasi. Efektivitas selalu diukur berdasarkan prestasi, produktivitas, laba dan seterusnya.
Sedangkan Hamzah Yaqub ( 1989 : 9 ) menyatakan bahwa efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telaha ditetapkan terlebih dahulau. Agar sebuah organisasi dapat berjalan efektif, diperlukan sasaran sebagai tindakan dan alokasi sumber daya organisasi dalam kegiatan atau operasional organisasi. Keberhasilan pencapaian berbagai sasaran organisasi menurut Modul yang dikeluarkan LAN dan BPKP ( 2000 : 7 ) sangat penting ditinjau untuk :
a. Lebih menjamin suksesnya pelaksanaan rencana jangka panjangyang sifatnya menyeluruh yang berarti menyangkut keseluruhan instansi berikut satuan kerjanya.
b. Meletakkan dasar yang kuat untuk mengendalikan dan memantau kinerja organisasi.
c. Sebagai alat untuk memicu agar semua bgian organisasi sadar akan kemungkinan timbulnya permasalahan, kaerana adanya bidang-bidang kegiatan.
Selanjutnya di dalam LAN dan BPKP ( 200 : 9 ) menyebutkan bahwa agar sasran ini dapat efektif maka sasaran harus bersifat atau memiliki criteria sebagai berikut :
a. Spesifik, sasaran harus menggambarkan hasil spesifik yang diinginkan bukan cara pencapaiannya. Sasaran harus memberikan arah dan tolok ukur yang jelas sehingga dapat dijadikan landasan untuk penyusunan strategi dan kegiatan yang spesifik pula .
b. Dapat dinilai dan terukur, sasaran harus terukur dan dapat dipergunakan untuk memastikan apa dan kapan pencapaiannya. Akuntabillitas harus ditanamkan kedalam proses perencanaan. Oleh karenanya metodelogi untuk mengukur pencapaian sasaran harus ditetapkan sebelum kegiatan yang terkait dengan sasaran tersebut dilaksanakan.
c. Menantang namun dapat dicapai.

Dengan demikian, efektivitas dalam mencapai sasaran yang telah dibuat, diindikasi dengan adanya sasaran yang spesifik yang diinginkan, sasaran harus terukur dan dapat dipergunakan untuk memastikan apa dan kapan pencapaiannya, dan aspek lain yang perlu diperhatikan adalah proses tersebut menantang namun dapat dicapai namun dapat dicapai dengan sumber daya yang ada.

2.2 Tugas dan Fungsi Registrasi Kemahasiswaan
Organisasi merupakan suatu proses kerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Dwight Woldo (1956), organisasi adalah suatu hubungan-hubungan dominan orang-orang berdasarkan wewenang bersifat tetap dalam suatu sistem administrasi. Sejalan dengan uraian tersebut diatas maka hal penting yang diperhatikan adalah bagaimana cara dari pencapaian tujuanyang telah ditetapkan, diantaranya adalah harus membentuk sistem yang utuh dan berdasarkan atas prosedur-prosedur yang telah ditetapkan.
Gagriel Iglesias ( dalam Bintorao Tjokro Amidjojo, 1993:46 ), mengemukakan bahwa kemampuan administrasi untuk melaksanakan telah diidentifikasikan sebagai faktor kritisdalam proses pelaksanaan rencana, ( implementasi gaps ). Kecuali apa yang diputuskan untuk dilakukan, ada banyak masalah yang berkembang dalam pelaksanaan suatu kebijaksanaan atau program pembangunan akan mengaitkan hubungan sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain dalam penalaran pencapaian hasil. Hal ini menjadi perhatian dari sub-sub alur ini.
Fungsi menurut Moekijat ( 1989:205 ) adalah suatu operasi yang sudah biasa dari suatu kegiatan atau pekerjaan. Suatu fungsi dapat juga dikatakan sebagai suatu tindakan yang layak mengenai sesuatu. Sedangkan tugas dan fungsi dalam ilmu administrasi merupakan dua kata yang sering disebut dan jarang dipisahkan. Tugas ( Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 ) mengandung arti sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan; pekerjaan yang menjadi tanggung jawab; pekerjaan yang dibebankan.
Mengenal dan memahami tugas dan fungsi sebuah lembaga tidak terlepas dari pemahaman fungsi kantor secara umum. Kantor berguna untuk memberikan pelayanan komunikasi dan warkat. Mengadakan komunikasi berarti memberi dan menerima keterangan sanpai dengan menganalisis dan pengawasan. Fungsi-fungsi pokok sebuah kantor adalah menerima, mencatat, menyusun, menganalisis dan memberi keterangan.
A. Mintoro dan Sedarmayati ( 1992:4 ) menilai penyelenggaraan perkantoran merupakan inti kehidupan organisasi, karena kantor mempunyai fungsi :
1. sebagai alat penyambung panca indera bagi pimpinan.
2. membantu pimpinan dalam perumusan pekerjaan.
3. membantu pimpinan dalam penyederhanaan sistem manajemen, prosedur dan metode kerja.
4. membantu pimpinan dalam pelaksanaan kegiatan mencapai tujuan organisasi yang berdaya guna.
Sedangkan aspek-aspek yang berkaitan dengan manajemen perkantoran adalah :
1. Tujuan; adalah yang paling penting untuk menilai dan membentuk tujuan sebuah kantor atau bagian-bagiannya.
2. Organisasi; penyusunan tenaga kerja dan pembagian tugas-tugas kepada pegawai.
3. Metode ( sama dengan sistem-sistem ) adalah urutan pelaksanaan-pelaksanaan dan bagaimana serta di mana pelaksanaan-pelaksanaan itu dilaksanakan.
4. Pegawai; berhubungan dengan pencarian calon pegawai, penempatan, pelatihan, kenaikan jabatan dan pemberhentian mereka.
5. Mesin-mesin dan perlengkapan; semua benda mati yang dipergunakan dalam kantor guna membantu pelaksanaan pekerjaan.

Dengan demikian, dalam kapasitas sebagai suatu organisasi memiliki struktur pembagian kerja yang jelas dan adanya tujuan. Prajudi Atmosudiro ( dalam Adam Indrajaya, 1993:4 ) mengemukakan bahwa oganisasi adalah struktur pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antar kelompok orang-orang pemegang posisi yang bekerja sama secara bersama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Dalam pasal 53 dan 54 Keputusan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia tentang Organisasi Tata Kerja Universitas Bengkulu tentang Tata Kerja Universitas Bengkulu adalah sebagai berikut :



Pasal 53
1) Biro administrasi akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan Sistem Informasi adalah unsur pembantu pimpinan dibidang administrasi akademik, kemahasiswaan, perencanaan dan sistem informasi yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung terhadap rektor.
2) Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan Sistem Informasi dipimpin oleh seorang kepala.

Pasal 54
Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan Sistem Informasi mempunyai tugas memberikan layanan administrasi di bidang administrasi, kemahasiswaan, perencanaan dan sistem informasi di lingkungan Universitas Bengkulu.

Uraian tersebut memeperlihatkan bahwa biro administrasi akademik, kemahasiswaan, perencanaan dan sistem informasi bertanggung jawab pada rektor dan tugasnya adalah memberikan layanan administrasi dibidang akademik, kemahasiswaan, perencanaa dan sitem informasi dilingkungan Universitas Bengkulu.
Dalam surat edaran yaitu SK Rektor No: 455/J.30/P/HK/1997 tentang Organisasi Tata Kerja Universitas Bengkulu, dikemukakan bahwa :
1. Semua fasilitas Universitas hanya digunakan untuk kepentingan institusi.
2. Semua karyawan atau tenaga administrasi harus bertindak dengan penuh tanggung jawab dan waijb.
1) Mentaati jam kerja dan ketentuan lainnya sebagai tenaga karyawan/ non-akademik.
2) Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada mahasiswa, dosen, sesama karyawan, dan kepada masyarakat menurut bidang tugas masing-masing.
3) Menjaga rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya.
4) Menggunakan dan memelihara sebaik-baiknya barang inventaris dan fasilitas milik universitas lainnya.
5) Mempersiapkan fasilitas penunjang kegiatan akademik, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
6) Menghindari tugas pelayanan yang bersifat menghambat, merugikan pihak lain, atau mempersulit kelancaran tugas-tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi.
3. Karyawan/ tenaga non-akademik tidak dibenarkan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bukan merupakan tanggung jawabnya atau kewenangannyabaik dalam bidang akademik, kemahasiswaan, maupun bidang protokoler.

Untuk efektifnya pekerjaan di bagian registrasi dan statistik Universitas Bengkulu diperlukan langkah-langkah, metode, dan teknik perubahan organisasi seperti peningkatan kualitas sumber daya manusia, perubahan budaya, dan strategi, mampu mengatasi hambatan-hambatan dengan baik. Sebagai suatu organisasi bagian Registrasi dan Statistik harus menjadi birokrasi mengandung arti dan implikasi yang positif, yakni dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang rasional dalam rangka pengambilan keputusan untuk kepentingan yang lebih luas.




BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Batasan Konsep
Adapun batasan konseptual dari efektivitas pelayanan administrasi kemahasiswaan pada Sub Bagian Registrasi Dan Statistik di Rektorat Universitas Bengkulu adalah suatu tingkat keberhasilan pelayanan kepada mahasiswa yang merupakan tugas dari Sub Bagian Registrasi dan Statistik di Rektorat Universitas Bengkulu.

3.2 Data Yang Diperlukan
Sejalan dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui efektivitas pelayanan administrasi kemahasiwaan di bagian registrasi rektorat Universitas Bengkulu, maka kegiatan yang diteliti adalah :
a. Menghimpun : yaitu kegiatan mencari dan mengusahakan tersedianya segala keterangan yang tadinya belum ada atau berserakan dimana-mana sehingga siap untuk dipergunakan bilamana diperlukan.
b. Mencatat : yaitu kegiatan membubuhkan dengan pelbagai peralatan tulis keterangan-keterangan yang diperlukan sehingga berwujud tulisan yang dapat dibaca, dikirim dan disimpan.
c. Menyimpan : yaitu kegiatan dengan pelbagai cara dan alat ditempat tertentu yang aman.

Dalam bidang :
a. Trnskrip nilai, yaitu pelayanan administrasi kemahasiswaan kepada mahasiswa dibidang pengurusan transkrip nilai.
b. Pembauatan LHS, yaitu pelayanan administrasi kemahasiswaan kepada mahasiswa dibidang pengurusan Laporan Hasil Sementara terhadap mata kuliah yang diambil oleh mahasiswa.
c. Pengisisan KRS, yaitu pelayanan administrasi kemahasiwaan kepada mahasiswa dibidang pengurusan karrtu rencana studi pada setiap semesternya.
d. Pengurusan Bea Siswa, yaitu pelayanan administrasi kemahasiswaan kepada mahasiswa mengenai urusan transkrip nilai.
e. Pernyataan masih kulliah, yaitu pelayanan administrasi kemahasiswaan yang akan mengurus surat keterangan masih kuliah.
f. Cuti akademik, yaitu pelayanan administrasi kemahasiswaan kepada mahasiswa yang akan mengambil cuti akademik.

3.3 Sasaran Penelitian
Adapun sasaran dari penelitian ini adalah 5 orang pegawai atau staff bagian registrasi dan statistik di rektorat Universitas Bengkulu dan 15 orang mahasiswa fakultas ISIPOL, tahap akhir yaitu mahasiswa semester 6 yang telah memanfaatkan pelayanan akademik seperti pengurus transkrip nilai, LHS, KRS, Bea Siswa dan Cuti di fakultas ISIPOL. Adapun alasan pemilihan 5 orang sasaran penelitian tersebut dikarenakan mereka berkaitan dan menangani langsung tugas-tugas di bidang registrasi dan statistik. Sedangkan pemilihan mahasiswa tahap akhir dikarenakan mereka diasumsikan pernah memperoleh pelayanan dibidang registrasi di rektorat Universitas Bengkulu.

etika, keadilan dan kebajikan

1. Perbedaan Etika, Keadilan dan kebajikan :
a. Etika berasal dari bahasa yunani (ethos) yang berarti kebiasaan/watak. Yaitu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya.
b. Keadilan merupakan suatu nilai yang luhur merupakan nilai perserikatan dan sekaligus juga nilai perwatakan.
c. Kebajikan merupakan pengetahuan dan kebiasaan atau merupakan semacam kearifan atau suatu bentuk kebijaksanaan.

2. Hubungan etika dengan keadilan dan kebajikan :
- Etika sebagai salah satu cabang dari penelaahan filsafat dan khusus mempelajari asas-asas baik dan buruk dalam perilaku manusia maupun asas-asas benar dan salah dalam perbuatan manusia menyangkut moralitas manusia, maka keadilan menjadi salah satu unsur yang pokok dalam bidang etika dan kebajikan menjadi isi substantif dan ruang lingkup dari etika.
- Ide keadilan dengan segenap seginya termasuk dalam bidang kebajikan, karena itu termasuk pula dalam bidang etika.

3. Perbedaan antara orang yang adil dan bertindak adil :
Orang adil yaitu orang yang mempunyai keinginan atau pikiran untuk berbuat adil atau memiliki dorongan batin yang kuat untuk berbuat adil. Sedangkan tindakan adil yaitu perwujudan dari keinginan atau dorongan batin untuk berbuat adil dengan dibuktikan melalui tindakan atau solusinya.
Misalnya : Seorang pemimpin organisasi termasuk orang yang adil karena sudah dipercaya oleh bawahannya untuk memimpin dan berkeinginan untuk melayani dan memuaskan bawahannya. Ia bertindak adil dengan menilai bawahannya berdasarkan rajin dan malas.

4. Salah satu prinsip good governance adalah akuntabel. Akuntabel dalam hal ini adalah Tata pemerintahan yang bertanggung jawab atau bertanggung gugat. Hubungan Akuntabel dengan etika administrasi negara : Instansi pemerintah dan para aparaturnya harus dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Demikian halnya dengan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukannya.

5. Ciri-ciri dari orang yang adil :
a. Memberikan perlakuan, pelayanan dan pengabdian yang sama tanpa membeda-bedakan atau pilih kasih kepada semua pihak. Contohnya : Dalam memberikan pelayanan publik hendaknya kita tidak membedakan status sosial orang yang kita layani. Setiap orang kita berikan pelayanan yang baik tanpa pilih kasih.
b. Memberikan perbedaan perlakuan asalkan berdasarkan pertimbangan yang adil atau alasan yang benar. Contohnya : Tamu kehormatan perlu diperlakukan atau dilayani dengan sangat baik atau lain dari biasanya karena hal ini menyangkut nama baik suatu organisasi.
c. Seseorang yang menjalankan fungsinya masing-masing yang paling cocok tanpa mencampuri pekerjaan pihak lain (plato). Contohnya : mengerjakan pekerjaan dengan benar tanpa mencampuri pekerjaan orang lain.
d. Seseorang yang memiliki keutuhan watak yang hidup sesuai asas-asas yang ajeg dan tidak bisa diselewengkan dari asas-asas itu oleh pertimbangan keuntungan, keinginan atau perasaan hati (stanley). Contohnya : orang yang mempunyai intensitas dan mempunyai prinsip-prinsip hidup konsisten yang tidak dikuasai oleh pertimbangan keuntungan hasrat pribadi, atau perasaan hati.
e. Seseorang yang tidak mau berbuat salah (walaupun ia boleh melakukannya), secara keras menolak mengambil barang yang berharga (walaupun tidak ada resikonya ketahuan), tidak bersifat munafik agar kelihatan adil, melainkan secara tulus dan tulen ingin mempunyai watak yang adil.
f. Orang yang dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Contohnya : memberikan uang jajan yang berbeda kepada anak SD dan anak SMA.
g. Orang yang mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Contohnya : dalam musyawarah keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak untuk kepentingan orang banyak.
h. Orang yang membenarkan yang benar dan menghukum yang salah. Contohnya : hakim yang adil menjatuhkan vonis tidak bersalah bila orang tersebut benar-benar tidak bersalah dan menghukum bila benar-benar terbukti bersalah.
i. Orang yang melakukan tindakan konkret yang memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya. Contohnya : Melayani setiap orang dengan tulus.
j. Orang yang memberikan perlakuan yang layak terhadap orang lain dalam pembagian dan pertukaran barang dan jasa. Contohnya : memberikan upah yang sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan.
k. Orang yang memperbaiki kesalahan dengan jalan memberikan hukuman kepada pihak yang melakukan kesalahan itu.
l. Orang yang memperbaiki kesalahan dengan jalan memberi ganti rugi kepada pihak korban dari kesalahan itu.
m. Orang yang melakukan tindakan yang tidak memihak.
n. Orang yang melakukan tindakan yang sah menurut hukum.
o. Orang yang melakukan tindakan yang pantas.
p. Orang yang melakukan tindakan untuk kebaikan bersama dan kesejahteraan masyarakat.
q. Orang yang menghargai berbagai kebebasan dasar dari setiap orang.

6. Penerapan kode etika di Pemda kota masih belum memenuhi kualitas yang diharapkan yaitu ditandai dengan :
a. Tidak adanya kepastian biaya, waktu, dan cara pelayanan. Prosedur pelayanan tidak pernah mengatur kewajiban dari penyelenggara pelayanan dan hak warga sebagai pengguna.
b. Banyaknya biro jasa hampir di setiap instansi pelayanan publik yang menunjukkan besarnya oportunity cost bagi masyarakat untuk mengurus pelayanan publik.
c. Adanya diskriminasi pelayanan oleh para pejabat birokrasi baik menyangkut faktor pertemanan, afiliasi politik, etnis dan agama.
d. Rendahnya peranan masyarakat dan stakeholders dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pemerintah memonopoli pengaturan, penyelenggaraan, distribusi dan pemantauan dan masyarakat ditempatkan sebagai pengguna yang pasif.
e. Birokrasi dan para pejabatnya sering gagal menempatkan dirinya sebagai abdi masyarakat dan justru menjadikan dirinya sebagai penguasa yang lebih menuntut pelayanan daripada melayani masyarakat.
f. Adanya kesadaran administrator pemerintahan untuk setulusnya patuh pada instansi, jabatan maupun pihak atasan tetapi ada juga administrator pemerintahan yang bekerja mempertimbangkan untung rugi, bekerja dengan setengah hati.
g. Adanya kemauan dan kemampuan administrator pemerintah untuk memperhatikan serta siaga terhadap berbagai perkembangan yang baru, tetapi ada juga yang memiliki sikap tidak peduli asalkan tugas rutin sudah selesai.
h. Adanya Administrator pemerintahan yang memberikan perlakuan, pelayanan dan pengabdian yang sama tanpa membeda-bedakan atau pilih kasih, tetapi ada juga yang melakukan pembedaan perlakuan berdasarkan kepentingan pribadi.

7. Penerapan Etika di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila: Aparatur pemerintah diharapkan tetap menjaga dan memelihara agar nilai-nilai yang ada sesuai dengan butir-butir pancasila tetap aktual dan tetap mantap berdiri pada landasan budaya pancasila (cipta, rasa dan karsa) dan bertumpu kepada bhineka tunggal ika. Sebagai aparatur pemerintahan, perlu mencurahkan perhatian kepada pembangunan karena pembangunan pada dasarnya adalah pengamalan pancasila. Dengan demikian aparatur pemerintah yang bermoral, berperilaku, bersikap dan bertindak tidak terlepas dari terwujudnya pembangunan nasional yang diharapkan benar-benar merata dan seimbang sehingga akhirnya masyarakat adil dan makmur lahir dan batin yang dicita-citakan benar-benar menjadi wujud yang aktual dan realitas serta dirasakan oleh segenap lapisan dan tingkatan, masyarakat secara luas.

PENYEBAB TIDAK EFISIENNYA BIROKRASI INDONESIA DI TINJAU DARI ASPEK BUDAYA

PENYEBAB TIDAK EFISIENNYA BIROKRASI INDONESIA
DI TINJAU DARI ASPEK BUDAYA

1. Pendahuluan

Birokrasi adalah sebuah struktur organisasi yang dicirikan dengan 1) adanya prosedur-prosedur yang dijalankan secara rutin, 2) tanggung jawab yang terbagi-bagi, 3) hirarki yang jelas, dan 4) relasi yang sifatnya impersonal. Struktur Birokrasi biasanya digunakan oleh organisasi yang besar. Di organisasi seperti ini diperlukan sebuah sistem legal berupa peraturan dan prosedur tertulis berikut hirarki kewenangan yang terstruktur agar seluruh bagian organisasi dapat terkendali geraknya. Sebagai konsekuensinya, pihak-pihak yang menjadi pelaksana organisasi harus memiliki kompetensi di bidang masing-masing dan bekerja mengikuti prosedur yang ada. Prosedur tersebut dibangun dengan seksama untuk memunculkan perilaku-perilaku yang memang diharapkan organisasi. Kombinasi dari hirarki, keteraturan, dan kompetensi ini diharapkan akan membuat organisasi menjadi rasional, efisien, dan profesional.

2. Penyebab tidak efisennya Birokrasi

Penyebab tidak efisiennya birokrasi pemerintahan Indonesia ditinjau dari aspek budaya dikarenakan kurangnya kompetensi yang dimiliki anggota instansi pemerintah. Ditambah lagi dengan peraturan dan prosedur yang seringkali tidak jelas dan berubah-ubah. Selain itu, karena ada unsur hirarki yang kuat pada organisasi yang mengambil bentuk birokrasi, maka mestinya pimpinan-pimpinannya betul-betul pimpinan yang bisa menegakkan aturan dan prosedur.
Yah, memang perkara birokrasi pemerintah ini tak habis-habis dibahas. Sebagaimana yang kerap muncul dalam media, instansi pemerintah begitu banyak disorot karena kasus-kasus inefektivitas dan inefisiensi yang terjadi di dalamnya. Hari ke hari, surat kabar tak pernah lepas memberitakan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai instansi pemerintah, mulai dari kalangan pegawai pelaksana yang sekadar mengurus administrasi Kartu Penduduk, hingga tataran pejabat yang seharusnya menegakkan amanat rakyat. Kondisi ini memunculkan pandangan bahwa kondisi birokrasi pemerintahan identik dengan segala inefisiensi dan inefektivitas. Ketika publik mendengar kata “birokrasi”, yang segera terbayang adalah kondisi instansi pemerintah yang carut marut dan sarat dengan penyimpangan yang dilakukan anggotanya. Apakah itu berarti birokrasi adalah hal yang jelek?
Konsep birokrasi dikembangkan sudah melalui kajian seksama terhadap kebutuhan suatu bentuk organisasi tertentu. Birokrasi pada dasarnya adalah suatu struktur administratif yang dikenakan pada organisasi yang besar (tidak terbatas pada instansi pemerintah saja), yang tujuannya adalah agar organisasi tersebut menjadi rasional, efisien, dan profesional.
Di dalam struktur birokrasi, tata hubungan tugas secara horisontal dan tata kewenangan vertikal diatur secara jelas. Dengan demikian sudah tidak perlu dipertanyakan lagi apa peran dan tugas seseorang dalam organisasi karena jabaran akuntabilitasnya sudah jelas. Jadi, tidak lagi setiap kali harus ada pengambilan kesepakatan apa saja yang menjadi tugas keseharian seseorang.
Tersedianya peran dan tugas yang jelas tersebut kemudian diikuti dengan tata peraturan dan standar-standar kerja yang mengatur bagaimana cara mengerjakan tugas. Adanya pedoman yang jelas ini akan mengurangi beban pengawasan seorang pimpinan terhadap bawahannya, sekaligus membantu meningkatkan integrasi organisasi karena gerak kerja anggotanya sudah ditertibkan.
Di dalam struktur birokrasi, posisi dipisahkan dari personelnya. Artinya, di dalam rumusan posisi sudah jelas apa saja syarat-syarat personel yang bisa menempatinya, dan apa tanggung jawab si personel ketika ia menduduki posisi tersebut. Apa yang diharapkan dari sebuah peran sudah jelas dan menjadi akuntabilitas siapa pun pemegang peran tersebut. Pegawai didorong untuk berusaha memenuhi apa yang diharapkan darinya. Jadi, anggota organisasi tidak boleh menggunakan posisi untuk memenuhi kepentingan pribadi. Kalau sampai itu terjadi, berarti ada peraturan yang dilanggar dan yang bersangkutan dapat dikenai sanksi.

3. Birokrasi yang efektif
Agar birokrasi berjalan efektif, tentu saja persyaratan pertama adalah ada kejelasan tata organisasi. Tata hubungan pekerjaan harus diatur bermuara pada efektivitas pencapaian tujuan organisasi. Uraian pekerjaan harus menggambarkan akuntabilitas dan prasyarat kompetensi si pengisi pekerjaan. Sistem seleksi, promosi, dan imbalan, serta peraturan dan cara-cara kerja harus dirumuskan dengan tepat secara tertulis dan diimplementasikan dengan baik.
Sementara itu dari anggota organisasi dituntut suatu pola pikir dan pola tindak tertentu. Seluruh anggota instansi pemerintah harus memahami dan mengikuti prinsip-prinsip birokrasi. Mereka harus menyadari bahwa mengemban peran tertentu berarti mereka diberi suatu tanggung jawab. Tanggung jawab yang dimaksud adalah untuk menggunakan kewenangan yang diberikan kepadanya guna mengalokasikan dan mengendalikan berbagai sumberdaya organisasi untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi. Posisi adalah tanggung jawab, bukan bentuk imbalan atau tanda kekuasaan.
Syarat lainnya adalah setiap pimpinan harus menegakkan objektivitas dalam membuat keputusan. Mereka tidak boleh membiarkan hubungan pribadi mempengaruhi keputusan-keputusan mereka. Sementara itu, anggota organisasi lainnya harus mengkritisi cara jajaran pimpinan membuat keputusan. Jika ada indikasi penyelewenangan, mereka harus berani mengajukan keberatan dengan alasan-alasan yang objektif.
Struktur Birokrasi juga baru berjalan efektif jika selalu dilakukan riviu. Agar tata kerja tetap jelas dan tidak menjadi kabur atau terselewengkan, secara periodik anggota-anggota satuan kerja harus bertemu untuk memastikan kembali bahwa hubungan kerja di antara berbagai peran yang ada tetap jelas. Juga harus dipastikan bahwa peraturan-peraturan yang digunakan masih memenuhi kebutuhan yang berkembang. Oleh sebab itu, baik pimpinan maupun anggota harus memiliki sikap kritis. Mereka harus mencermati terus bagaimana jalannya organisasi, dan bukan semata-mata menjadi pelaksana peraturan terus-menerus tanpa menimbang kembali kepentingan dan dampak baik peraturan tersebut.
Apakah pola pikir dan pola tindak itu ada di kalangan pegawai instansi pemerintah kita? Nah, ini salah satu kendala yang paling besar. Unsur perilaku ini layak kita cermati sebagai psikolog. Apakah kultur sebagai orang Indonesia punya kontribusi terhadap tersendatnya efektivitas birokrasi pemerintahan?
Hasil penelitian Geert Hofstede pada masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peringkat Power Distance Index (PDI) yang tinggi, Individualism (IDV) yang tergolong rendah, Masculinity (MAS) yang moderat, dan Uncertainty Avoidance Index (UAI) yang juga relatif moderat. Apa maknanya, dan bagaimana implikasinya pada kecenderungan pola pikir dan pola tindak para birokrat di instansi pemerintah?
Dari studi Hofstede diketahui bahwa kultur Indonesia basisnya adalah PDI yang tinggi. Masyarakat kita cenderung bisa menerima adanya inekualitas. Kita mengakui bahwa orang yang satu dan yang lain bisa memiliki daya (power) yang berbeda. Misalnya, orang yang jabatannya tinggi dipandang layak memiliki kewenangan dan/atau kemudahan-kemudahan tertentu. Begitu pula dalam pembuatan keputusan, atasan dipandang yang paling berhak membuat keputusan. Karena kuat pada aspek PDI, maka tidak ada kebutuhan untuk UAI yang tinggi (sehingga UAI ditemukan pada tingkatan moderat saja). UAI yang moderat ini sebetulnya juga karena PDI yang tinggi. Masyarakat kita tidak terlalu terganggu oleh permasalahan dan ketidakastian karena meyakini ada hirarki yang lebih tinggi yang akan membuat keputusan. Di kalangan pegawai instansi pemerintah, hal ini dikenal sebagai gejala “menunggu petunjuk atasan”. Akibatnya, tidak muncul tuntutan bahwa dirinya juga memikul tanggung jawab untuk memastikan tugas-tugas terlaksana dengan baik. Sepanjang petunjuk/keputusan dari atasan belum turun, tidak teralu dirasakan adanya kepentingan untuk berinisiatif menuntaskan masalah yang belum selesai. Itu sebabnya posisi tidak dipandang sebagai tanggung jawab personal.
Sementara itu, ciri kultur Indonesia yang lain, kolektivitas yang tinggi (konsekuensi dari peringkat IDV yang rendah) mengisyaratkan bahwa bersikap dan bertindak obyektif dan impersonal bukan hal yang mudah dilakukan. Ikatan personal yang kuat antara satu orang dengan yang lain memunculkan perilaku “ewuh pakewuh”. Banyak aturan-aturan normatif yang membatasi sikap-sikap asertif dan obyektif. Sopan santun pada yang lebih senior atau yang hirarkinya lebih tinggi muncul dalam manifestasi rasa sungkan untuk mempertanyakan sesuatu. Sentimen kelompok berpengaruh lebih kuat daripada hal-hal yang rasional obyektif. Ini juga cerminan dari MAS yang hanya moderat. Pada jajaran pengawai instansi pemerintah, hal ini muncul dalam sikap-sikap berusaha menghindari konflik dan menjaga hubungan baik. Untuk itu jarang sekali ada iklim yang kondusif untuk berani mempertanyakan prosedur atau keputusan yang dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan aktual.
Dengan basis pemikiran PDI yang tinggi, maka hirarki dan kekuasaan (power) dipandang sebagai satu kesatuan. Seseorang dalam posisi yang lebih tinggi memiliki kekuasaan yang lebih dari mereka yang ada di bawahnya. Sebaliknya, orang-orang yang dipandang memiliki kekuasaan dipandang layak menempati posisi yang lebih tinggi. Kerancuan membedakan hirarki dan kekuasaan ini merupakan sumber dari penyimpangan paradigma Birokrasi . Di dalam logika birokrasi, hirarki tidak berarti kekuasaan karena posisi adalah tanggung jawab pada stakeholder. Dengan demikian kewenangan-kewenangan yang diberikan pada suatu posisi yang tinggi di instansi adalah untuk mendorong tercapainya pemenuhan kebutuhan publik, bukan suatu bentuk kekuasaan yang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi. Pada kenyataannya, karena hirarki dipandang sebagai kesatuan dengan kekuasaan, maka jabatan struktural kerap dipandang sebagai peluang untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik. Oleh sebab itu banyak pegawai instansi pemerintah berlomba-lomba untuk mencapai jabatan struktural dengan pemikiran untuk mensejahterakan dirinya, bukan untuk mengambil tantangan mengemban amanat rakyat yang lebih besar.
Kesenjangan antara pola pikir dan pola tindak masyarakat kita dengan yang dipersyaratkan Birokrasi inilah yang membuat sulit untuk menciptakan perubahan. Nah, jika kita mau menjadi ahli perilaku, masalah pola pikir dan pola tindak anggota organisasi pemerintahan tak kalah menariknya untuk disimak dibanding perilaku karyawan di perusahaan swasta. Banyak sekali dinamika psikologis dibalik isu birokrasi pemerintahan ini. Awalnya mungkin saja tidak mudah dipahami, tapi jangan cepat-cepat memandang topik birokrasi pemerintahan sebagai sesuatu yang membosankan dan sama sekali tidak menarik. Gunakan kacamata psikologi kita dan pandang secara cermat, kita akan temukan keunikannya.
4. Gambaran Birokrasi Indonesia

Semenjak masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, persoalan kinerja birokrasi dituduhkan oleh banyak pihak sebagai musabab keterpurukan bangsa ini. Akarnya jelas: birokrasi lambat, tidak efisien, tidak efektif, tidak tanggap, dan ditengarai banyak diwarnai dengan praktik korupsi. Birokrasi juga dituding menjadi salah satu penyebab praktik penyalahgunaan kewenangan.

Buruknya kinerja birokrasi sebagai perpanjangan tangan penerapan kebijakan publik pemerintah justru menjadi faktor penghambat efektivitas dan efisiensi bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah di lapangan. Melihat kenyataan tersebut, sudah selayaknya dilakukan reformasi besar-besaran yang mencakup keseluruhan sistem birokrasi untuk menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan.

Bagi proses pemerintahan yang baik, birokrasi bisa diibaratkan sebagai aliran darah dalam sistem anatomi tubuh manusia. Jika terjadi ketidakpatutan dalam sistem birokrasi, sudah dapat dipastikan itikad sebaik apapun tidak akan pernah terwujud.

Ini artinya, bangsa ini akan selalu berkutat pada kubangan lumpur yang sama dan tidak akan pernah dapat keluar tanpa adanya perubahan dan perbaikan birokrasi. Meski banyak orang mengakui buruknya kinerja birokrasi tetapi tidak banyak perubahan berarti yang dapat dirasakan masyarakat.

Sejak Presiden Soekarno hingga kini masalah ini tidak terurai dengan baik. Presiden Megawati juga sempat mengeluhkan masalah yang sama dengan mengatakan bahwa birokrasi sebagai keranjang sampah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun masih menunjukkan tanda tanya besar tentang ke arah mana upaya perbaikan birokrasi akan dibawa. Pemerintahannya padahal berkomitmen untuk memerangi korupsi melalui program 100 hari yang dicanangkannya pada awal permulaan.

Pada masa Soekarno pernah diupayakan suatu cara untuk membersihkan aparat pemerintah dengan melalui dibentuknya Panitia Retooling Aparatur Negara. Selain itu, Kementerian Negara Urusan Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara sebagai cikal bakal didirikannnya Kementerian Aparatur Negara sudah dibentuk semenjak 1969.

Lembaga Administrasi Negara juga telah dibentuk dengan tujuan untuk melakukan penyempurnaan sistem birokrasi dan juga melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi aparatur negara.

Badan-badan negara inilah yang sebenarnya diharapkan mampu melakukan pembinaan dan pengaturan terhadap keberadaan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai aparat birokrasi. Berbagai upaya yang telah dilakukan tetap saja menunjukkan betapa persoalan birokrasi telah sedemikian berakar. Masalah ini tidak mudah diatasi padahal harusnya secara serius dibenahi.
Pertanyaan besar yang harus segera dijawab adalah di mana letak kesalahan upaya-upaya pembenahan birokrasi yang telah dilakukan tersebut. Semenjak isu reformasi dicetuskan, ternyata agenda reformasi belum banyak membawa perubahan signifikan pada reformasi di bidang birokrasi.

6. Mekanisme Rekrutmen

Sebuah studi terbaru dilakukan menyimpulkan bahwa salah satu upaya pembenahan birokrasi yang bisa dilakukan adalah melalui transparansi mekanisme perekrutan PNS. Hal ini perlu dilakukan untuk menemukan bibit-bibit baik yang layak duduk sebagai pejabat aparatur negara.

Namun pada kenyataannya, upaya perbaikan mekanisme perekrutan tersebut juga masih belum dapat sepenuhnya menjamin kualitas aparatur negara. Masyarakat luas juga telah mengetahui bahwa sekalipun proses perekrutan tersebut telah dilaksanakan dengan sedemikian ketatnya, namun yang kerap kali terjadi bibit-bibit pilihan dari seleksi tetap tak luput dari berbagai dorongan untuk ikut andil dalam sistem birokrasi yang membiarkan praktik-praktik birokrasi yang tidak sepatutnya terjadi.

Agaknya upaya reformasi birokrasi harus dilakukan secara menyeluruh tidak hanya melalui perbaikan dan pengawasan pada mekanisme perekrutan yang harus transparan tetapi juga meliputi keseluruhan sistem birokrasi. Upaya perbaikan menyeluruh tersebut juga meliputi perbaikan berbagai hal yang memberikan peluang pada praktik-praktik penyimpangan birokrasi oleh apratur negara.

Misalnya saja, proses pembuatan Kartu Tanda Pendudukan (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), dan perbagai proses permohonan izin lainnya, masyarakat kerap kali harus menempuh kesulitan proses birokrasi yang tidak jelas, panjang, dan juga biaya ekstra.

Hal-hal semacam inilah yang tidak hanya menggangu jalannya roda aktivitas masyarakat sehari-hari, akan tetapi juga mengganggu berbagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat. Bagi para investor, hal tersebut merupakan salah satu gangguan besar yang dapat mengurangi daya kompetitif dari kegiatan ivestasi tersebut.

Bila berlanjut, yang terjadi adalah keengganan investor untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Ini artinya hal tersebut akan merusak prospek ekonomi makro Indonesia dan memperpanjang keterpurunan negeri ini.

Pendek kata, sambungnya praktik birokrasi Indonesia akan semakin membuat bangsa ini semakin sulit keluar dari kubangan kesulitan dan keterpurukan, kecuali jika berbagai pihak secara sadar dan benar-benar serius berkomitmen untuk melakukan perubahan signifikan bagi kemajuan bangsa ini.





7. Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa struktur Birokrasi dimunculkan ketika di dalam organisasi (yang biasanya berukuran besar) dibutuhkan suatu keselarasan yang dalam hal ini dicapai dengan mengatur gerak anggota-anggotanya. Birokrasi bergerak seperti mesin yang memiliki mekanisme untuk mengatur komponen-komponen di dalamnya sehingga dapat menghasilkan produk dengan standar kualitas yang diinginkan. Mungkin dari pembahasan kami diatas sungguh masih jauh dari sempurna dan masih banyak lagi sebab-sebab lain yang membuat birokrasi tidak efisien. tetapi setidaknya ini dapat memberikan gambaran yang rill mengenai kondisi birokrasi kita.
8. Daftar Pustaka
Harsutanto, begi, Menata birokrasi, Memangkas korupsi, Sinar harapan, Jakarta, 2006
Tim konsultan LPTUI, Birokrasi Pemerintahan Indonesia, Jakarta 2007

MAKALAH KEBIJAKAN TENTANG PENGANGGURAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Keadaan Penganggur dan Setengah Pengangguran.
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain; perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam proses ekspor impor, dan lain-lain.
Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar (5.78 juta) adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional.
Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah. Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta orang yang harus segera dituntaskan.
B. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja.
Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya dipengaruhi oleh besarnya angkatan kerja. Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang. Mereka ini didominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun) sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain, 45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah.
Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran tersebut adalah keadaan kesempatan kerja. Pada tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar 91,6 juta orang. Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada disektor pertanian, yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih tergolong rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan kerja yang tersedia tersebut berstatus informal.
Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan pendidikan SLTP ke bawah. Ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang tersedia adalah bagi golongan berpendidikan rendah.
Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Indonesia mempunyai persyaratan kerja yang rendah dan memberikan imbalan yang kurang layak. Implikasinya adalah produktivitas tenaga kerja rendah.
Sasaran
Sasaran yang diharapkan, dirumuskan sebagai berikut :
Menurunnya jumlah penganggur terbuka dari 0,96 pesen menjadi 5,5 persen pada tahun 2009.
Menurunnya jumlah setengah penganggur dari 28,65 persen menjadi 20 persen dari jumlah yang bekerja pada tahun 2009.
Meningkatnya jumlah tenaga kerja formal dari 36,71 persen menjadi 60 persen dari jumlah yang bekerja pada tahun 2009.
Menurunnya jumlah angkatan kerja usia sekolah dari 20,54 persen menjadi 15 persen pada tahun 2009.
Tingkatkan perluasan lapangan kerja dari 91,65 juta orang menjadi 108,97 juta orang. Terbangunnya jejaring antara pusat dengan seluruh Kabupaten/kota.
Untuk mencapai hal tersebut disusun strategi, kebijakan dan program-program yang perlu terus dibahas untuk menjadi kesepakatan semua pihak, meliputi Pengendalian Jumlah Angkatan kerja peningkatan Kualitas angkatan Kerja; peningkatan Efektivitas Informasi Pasar Kerja dan Bursa Kerja; pembinaan Hubungan Industrial. (Sumber: Deklarasi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia, 29 Juni 2004; Bahan Raker Komisi VII DPR-RI dan Menakertrans, 11 Pebruari 2004). Sumber : Majalah Nakertrans Edisi - 03 TH.XXIV-Juni 2004
C. Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik
Selain masalah upah, persoalan mendasar ketenagakerjaan di Indonesia saat ini menyangkut tingkat pengangguran. Ini disebabkan pertambahan angkatan kerja baru jauh lebih besar dibanding pertumbuhan lapangan kerja produktif yang dapat diciptakan setiap tahun. Pasca krisis moneter, gap tersebut semakin membengkak tajam.
Pada tahun 1998 tingkat pengangguran mencapai 5,7 persen. Angka ini sebenarnya masih di sekitar tingkat pengangguran natural (Natural Rate of Unemployment), suatu tingkat yang secara alamiah mustahil dihindarkan. Ini mencakup pengangguran yang muncul karena peralihan antar kerja oleh tenaga kerja. Dengan jumlah angkatan kerja 92,7 juta, pengangguran 5,7 persen berarti terdapat 4,5 juta orang penganggur.
Sebenarnya tingkat pengangguran ini relatif kecil dibanding tingkat pengangguran di beberapa negara industri maju di Eropa di tahun 90-an yang bahkan mencapai dua digit. Namun tingkat pengangguran 5,7 persen tersebut sebenarnya adalah angka pengangguran terbuka (open unemployment), yakni penduduk angkatan kerja yang benar-benar menganggur. Di luar pengertian tersebut, terdapat sejumlah besar penganggur yang dalam konsep ekonomi termasuk dalam kualifikasi pengangguran terselubung (disguised unemployment), yakni tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya disebabkan lemahnya permintaan tenaga kerja. Konsep lainnya adalah under employment, yakni tenaga kerja yang jumlah jam kerjanya tidak optimal karena ketiadaan kesempatan untuk bekerja.
Berdasarkan data BPS (Biro Pusat Statistik) sampai Mei 1997, sekitar 45 persen tenaga kerja bekerja di bawah 35 jam per minggu atau setara dengan 25 persen pengangguran penuh. Jika ditambah angka pengangguran terbuka 2.67 persen dan pengaruh krisis ekonomi yang berkepanjangan, total pengangguran nyata bisa mencapai 35-40 persen. Suatu tingkat yang sangat serius dan membahayakan dalam pembangunan nasional.
Di samping masalah tingginya angka pengangguran, yang termasuk juga rawan adalah pengangguran tenaga terdidik, yaitu angkatan kerja berpendidikan menengah ke atas dan tidak bekerja. Fenomena ini patut diantisipasi sebab cakupannya berdimensi luas, khususnya dalam kaitannya dengan strategi serta kebijakan perekonomian dan pendidikan nasional.
Pola Pengangguran
Dari tabel di bawah mengungkapkan beberapa hal menarik. Pertama, pada 1998, hampir separuh (49 persen) penganggur ternyata berpendidikan menengah atas (SMTA Umum dan Kejuruan). Kedua, periode 1982-1998, terjadi peningkatan pengangguran berpendidikan menengah ke atas (SMTA, Akademi dan Sarjana) secara signifikan dari 26 persen menjadi 57 persen, atau meningkat hampir 120 persen. Ketiga, laju peningkatan pengangguran di sekolah menengah kejuruan lebih rendah daripada sekolah menengah umum, baik pada menengah pertama maupun pada menengah atas. Keempat, persentase peningkatan tingkat pengangguran berpendidikan sarjana adalah paling tinggi, yang melonjak dari 0,57 persen pada 1982 menjadi 5,02 persen pada 1998.

Tabel
Struktur Pengangguran Menurut Tingkat Pendidikan (%)
Pendidikan 1982 1995 1998
SD ke bawah 61.74 40.68 23.09
SLTP 11.79 16.33 19.44
SLTA Umum 12.30 24.90 32.13
SLTA Kejuruan 12.69 11.61 16.86
Diploma 0.91 2.61 3.47
- Diploma I 0.74 0.94
- Diploma II 1.87 2.53
Universitas 0.57 3.86 5.02
Sumber: Statistik Tahunan Indonesia, 1985, 1995, 1998
Beberapa Sebab
Secara kualitatif, kualitas tenaga kerja nasional meningkat disebabkan dua hal. Pertama, pembangunan ekonomi pada tingkat tertentu berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga masyarakat lebih mampu membiayai pendidikan formal dan mengakomodasi makanan bergizi yang membantu kualitas tenaga kerja. Kedua, berbagai kebijakan di bidang pendidikan nasional membawa peningkatan pada kualitas pendidikan formal angkatan kerja. Akan tetapi, pada saat angkatan kerja terdidik meningkat dengan pesat, lapangan kerja masih didominasi sektor-sektor subsistensi yang tidak membutuhkan tenaga kerja berpendidikan.
Ini menimbulkan gejala supply induce di mana tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar memberi tekanan kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil, sehingga terjadi pendayagunaan tenaga kerja terdidik yang tidak optimal.
Secara makro ini juga disebabkan transformasi struktur ekonomi dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder dan tersier (industri dan jasa) tidak diikuti transformasi penyerapan tenaga kerja. Periode 1980-98, penyerapan tenaga kerja sektor primer turun 9 persen menjadi 47 persen, sementara sektor sekunder dan tersier hanya meningkat 3 persen dari 23 persen. Di lain pihak kontribusi sektor primer terhadap PDB turun sebesar 9 persen menjadi 15 persen sementara sektor sekunder dan tersier meningkat sekitar 14 persen menjadi 27 persen.
Tampaknya gejala tersebut diakibatkan pola perkembangan industri saat ini yang kurang berbasis pada permasalahan nasional yang sifatnya seolah labor surplus padahal karena permintaan yang kecil. Dengan demikian, di samping membangun industri skala besar yang sifatnya padat modal dan teknologi, perhatian juga sudah seharusnya diberikan pada pengembangan industri yang lebih berorientasi pada penyerapan tenaga kerja terdidik yang tidak hanya jumlahnya besar tetapi juga tumbuh dengan sangat cepat.
Perlu juga penanganan serius terhadap tingginya persentase lulusan SMTA Umum yang menganggur (lebih tinggi daripada SMTA Kejuruan). Hal ini karena pada dasarnya SMTA Umum dipersiapkan untuk memasuki perguruan tinggi, pada hal untuk masuk ke dunia perguruan tinggi, selain tempat terbatas, mahalnya biaya juga menjadi kendala utama.
Berbagai perubahan menyangkut penjurusan di tingkat menengah atas tampaknya tidak akan mampu menjawab permasalahan kualitas angkatan kerja golongan pendidikan ini. Seharusnya, kurikulum SMTA Umum sekarang mendapat proporsi keterampilan praktis sehingga bilamana lulusan SMTA tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi, paling tidak sudah memiliki bekal keterampilan yang dibutuhkan untuk masuk dunia kerja. Apa yang terjadi sekarang adalah, mayoritas angkatan kerja berpendidikan SMTA Umum bekerja di sektor perdagangan dan sektor informal yang produktivitasnya relatif rendah.
Selain itu, di tengah membengkaknya jumlah penganggur, ternyata lowongan kerja yang belum terisi cenderung meningkat serta porsinya terhadap lowongan kerja relatif besar. Menurut data Sub Direktorat Informasi Pasar Kerja, Depnaker April 1998, dari 254.032 lowongan kerja terdaftar, terdapat 15 persen lowongan kerja yang tidak dapat terisi. Sekitar 50 persen di antaranya adalah angkatan kerja berpendidikan sarjana dan sarjana muda, sedangkan paling rendah lulusan SD dan diploma satu (D1) sekitar 10 persen.
Tingginya proporsi lowongan kerja untuk sarjana dan sarjana muda yang belum terisi menunjukkan adanya kesenjangan antara kualitas penawaran tenaga kerja (dunia perguruan tinggi) dengan kualitas permintaan tenaga kerja (dunia usaha). Kesenjangan ini memang sudah sering diangkat ke permukaan sampai lahirnya konsep link and match.
Masalahnya, sejauh mana konsep tersebut tertuang dalam kerangka yang lebih operasional. Secara fungsional, beberapa perguruan tinggi swasta (PTS) sudah menerapkan hal ini di mana banyak praktisi bisnis menjadi dosen-dosen PTS, yang secara perlahan membawa perubahan pada kurikulum. Akan tetapi, bila tidak diimbangi dengan penjembatanan secara struktural, misalnya dengan berbagai proyek kerjasama penelitian antara dunia usaha dengan perguruan tinggi yang melibatkan mahasiswa, dosen, peneliti dan praktisi niscaya sulit untuk mempersempit gap tersebut.
Permagangan mungkin salah satu alternatif solusi praktis dan tepat. Hal ini didasarkan bahwa dunia usaha terkesan tertutup terhadap mahasiswa yang datang untuk melakukan kegiatan penelitian (riset) sehingga menguatkan adanya kesenjangan tersebut. Tapi ini juga belum ditangani secara serius dan terpadu.

BAB II
M A S A L A H

A. Tiap Tahun, Angka Pengangguran Indonesia Naik

Sejak 1997 sampai 2003, angka pengangguran terbuka di Indonesia terus menaik, dari 4,18 juta menjadi 11,35 juta. Didominasi oleh penganggur usia muda. Selain usia muda, pengangguran juga banyak mencakup berpendidikan rendah, tinggal di pulau Jawa dan berlokasi di daerah perkotaan. Intensitas permasalahan juga lebih banyak terjadi pada penganggur wanita dan pengaggur terdidik.
Pengangguran dan setengah pengangguran merupakan permasalahan di muara yang tidak bisa diselesaikan pada titik itu saja, tapi juga harus ditangani dari hulu. Sektor di hulu yang banyak berdampak pada pengangguran dan setengah pengangguran adalah sektor kependudukan, pendidikan dan ekonomi.
Ada tiga asumsi yang menjadi harapan untuk menurunkan pengangguran dan setengah pengangguran. Pertama, pertumbuhan tenaga kerja rata-rata pertahun dapat ditekan dari 2,0 persen pada periode 2000-2005 menjadi 1,7 persen pada periode 2005-2009. Demikian juga pertumbuhan angkatan kerja, dapat ditekan menjadi 1,9 persen pada periode 2005-2009 dari periode sebelumnya yang mencapai 2,4 persen. Kedua, dapat ditingkatkannya pertumbuhan ekonomi menjadi 6,0 persen pada periode 2005-2009 dari periode sebelumnya yang hanya mencapai 4,1 persen. Ketiga, transformasi sektor informal ke sektor formal dapat dipercepat baik di daerah perkotaan maupun pedesaan terutama di sektor pertanian, perdagangan, jasa dan industri.
B. Masalah Buruh-Pengusaha Belum Terpecahkan, Pengangguran Terus Bertambah
Kolapsnya perekonomian Indonesia sejak krisis pada pertengahan 1997 membuat kondisi ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak pernah mencapai 7-8 persen. Padahal, masalah pengangguran erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi ada, otomatis penyerapan tenaga kerja juga ada. Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen, tenaga kerja yang terserap bisa mencapai 400 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-4 persen, tentunya hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga kerja, sementara pencari kerja mencapai rata-rata 2,5 juta pertahun. Sehingga, setiap tahun pasti ada sisa.
Bayangkan, pada 1997, jumlah penganggur terbuka mencapai 4,18 juta. Selanjutnya, pada 1999 (6,03 juta), 2000 (5,81 juta), 2001 (8,005 juta), 2002 (9,13 juta) dan 2003 (11,35 juta). Sementara itu, data pekerja dan pengangguran menunjukkan, pada 2001: usia kerja (144,033 juta), angkatan kerja (98,812 juta), penduduk yang kerja (90,807 juta), penganggur terbuka (8,005 juta), setengah penganggur terpaksa (6,010 juta), setengah penganggur sukarela (24,422 juta); pada 2002: usia kerja (148,730 juta), angkatan kerja (100,779 juta), penduduk yang kerja (91,647 juta), penganggur terbuka (9,132 juta), setengah penganggur terpaksa (28,869 juta), setengah penganggur sukarela .
Sebenarnya, untuk menurunkan pengangguran dan setengah pengangguran bisa saja dicapai lewa tiga asumsi dasar, yaitu pertama, pertumbuhan tenaga kerja rata-rata pertahun ditekan dari 2,0 persen pada periode 2000-2005 menjadi 1,7 persen pada periode 2005-2009. Demikian juga pertumbuhan angkatan kerja, ditekan menjadi 1,9 persen pada periode 2005-2009 dari periode sebelumnya yang mencapai 2,4 persen. Kedua, pertumbuhan ekonomi ditingkatkan menjadi 6,0 persen pada periode 2005-2009 dari periode sebelumnya yang hanya mencapai 4,1 persen. Ketiga, mempercepat transformasi sektor informal ke sektor formal, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, terutama di sektor pertanian, perdagangan, jasa dan industri.
Tapi pemecahan persoalan tidak semudah itu. Bicara soal ketenagakerjaan tidak akan lepas dari persoalan buruh dan pengusaha yang tiap hari kian mencuat ke permukaan. Sejak 2000, persoalan terus datang, hingga “terpaksa” harus melahirkan paket Undang Undang Serikat Pekerja, Ketenagakerjaan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Selesaikan masalah? Tunggu dulu, lihatlah data berikut:
Perselisihan Hubungan Industrial (PHI)
2001: Perkara yg Masuk (81), Jumlah Putusan (80), Sisa*) Perkara (73) *) Akumulasi dengan Sisa perkara Bulan Sebelumnya
2002: Perkara masuk (101), Jumlah putusan (91), sisa perkara (189)
Keterangan: Data Perselisihan dari P4P tidak dibuat angka komulatif
2003: Perkara masuk (95), jumlah putusan (95), Sisa perkara (321)
Keterangan: Data Perselisihan dari P4P tidak dibuat angka komulatif
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas
Jumlah Perkara dan Tenaga Kerja yang Terkena PHK
2002: Kasus PHK (2.445), Tenaga Kerja PHK (114.933), kasus PHI (101)
2003: Kasus PHK (12.175), tenaga kerja PHK (110.145), kasus PHI (95)
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas
Pemogokan
2001: Kasus Pemogokan (174), tenaga kerja yang terlibat (109.845)
2002: Kasus pemogokan (220), tenaga kerja yang terlibat (769.142)
2003: Kasus pemogokan (146), tenaga kerja yang terlibat (61.790)
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
2001: Perkara yang masuk (2.160), jumlah putusan (1.906), sisa perkara (2.632)
*) Akumulasi dengan Sisa perkara Bulan Sebelumnya
2002: Perkara yang masuk (2.445), jumlah putusan (1.980), sisa perkara (4.415)
Keterangan: Data PHK dari P4P tidak dibuat angka komulatif
2003: Perkara yang masuk (2.175), jumlah putusan (2.098), sisa perkara (6.393)
Keterangan: Data PHK dari P4P tidak dibuat angka komulatif
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas

Jumlah Tenaga Kerja yang Terkena PHK
2002: Perkara yang masuk (114.933), jumlah putusan (98.565), sisa perkara (205.867) Keterangan: Jumlah TK dari P4P tidak dibuat angka komulatif
2003: Perkara yang masuk (110.145), jumlah putusan (117.357), sisa perkara (223.413) Keterangan: Jumlah TK dari P4P tidak dibuat angka komulatif
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas
Berdasarkan data di atas, jelas masalah buruh dan pengusaha seakan juga menjadi bom waktu yang tiap saat bisa meledak dan menghancurkan kerangka ketenagakerjaan Indonesia. Fakta hubungan buruh dan pengusaha tidak bisa serta merta terselesaikan dengan hadirnya UU Ketenagakerjaan dan PPHI. uruh itu hanya concern pada dua hal: PHK dan penyelesaian perselisihan,. Tentunya, tidak perlu harus mengeluarkan UU baru yang ternyata menguntungkan pasar bebas.
Ditambah lagi, adanya pernyataan beberapa ekonom yang mengatakan, kenaikan upah minimum akan menyumbang pengangguran sebesar satu persen, jelas menguntungkan pasar bebas itu. Jumlah buruh di 2665 perusahaan tekstil dan produksi tekstil serta terkait dengan industri tesktil dan produksi tekstil saja mencapai 4,7 juta. Belum di industri lainnya. Pertanyaannya, apakah hak upah minimum itu berkorelasi dengan pengangguran? Soal pengangguran itu jelas terkait dengan krisis ekonomi yang tidak bisa diselesaikan pemerintah. 62,5 persen pangsa pasar tenaga kerja itu ada di desa. Tidak ada korelasi, dan upah minimum bukan penyebab utama pengangguran itu.
Tuntutan kesejahteraan buruh itu, adalah hak buruh yang bisa dipahami, memang harus ada berbagai jaminan. Tapi yang bisa di berikan saat ini adalah yang sesuai dengan dukungan ekonomi kita, itu dulu deh. Tanpa ada kemampuan yang didukung ekonomi nasional, jelas makin hari makin terjadi PHK, industri tidak bersaing sehingga terjadi deindustrialisasi dan jadilah pedagang. Tidak heran saat ini, banyak industri berubah jadi trading, impor. Bagi pengusaha, itu tidak ada masalah. Tapi siapa yang akan memberikan pekerjaan?
Soal ketenagakerjaan memang menjadi hal pokok dalam menggerakkan iklim investasi. Karena investor akan melihat, normatif ketenagakerjaan Indonesia bagaimana, upah minimumnya, compete tidak? Jika upah buruh naik, produktifitas tidak naik, itu namanya tidak baik dan mampu berkompetisi. UU yang baru ini jelas memberatkan pengusaha. Investasi akan semakin tidak mampu masuk, sehingga terjadi pengangguran yang tentunya, kesejahteraan buruhpun jadi terhambat.
Soal paketan UU Ketenagakerjaan boleh jadi harus menjadi perhatian serius. Karena berdasarkan riset ILO (International Labour Organization) 2-3 tahun terakhir, lebih dari 60 persen angkatan kerja Indonesia ada di sektor informal. Sisanya, ada di sektor formal, bekerja di perusahaan, pegawai negeri dan lainnya yang memang mempunyai jaminan perlindungan, seperti tiap bulan mendapatkan gaji tetap, ada jaminan kesehatan dan lainnya. Informal yang jumlahnya jelas lebih banyak ini, tentunya tidak mempunyai jaminan sama sekali: satu perbandingan yang tidak sehat. Celakanya, UU Ketenagakerjaan justru membuat pengusaha menutup perusahaannya yang kemudian menurunkan kesempatan meningkatkan penciptaan lapangan pekerjaan. Kemungkinan, tutupnya perusahan elektronik SONY dan DOSON yang memproduksi sepatu Reebok, akan diikuti juga perusahaan lainnya. Di sisi lain, kompetisi usaha Indonesiapun semakin menurun. Jelas, Cina dan Thailand bukanlah kompetitor lagi. Bahkan, kemungkinan kita akan dikejar oleh Vietnam, Laos dan Kamboja.
Soal buruh dan pengusaha, sebenarnya banyak yang bisa dilakukan pemerintah, bukan sekadar mendapatkan win-win solution, tapi juga memperhatikan kepentingan publik. Satu contoh yang mungkin pengusaha dan buruh lainnya juga sepakat, penggunaan keuntungan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) untuk kepentingan buruh dan pengusaha. Janganlah pemerintah mengambil deviden dari Jamsostek, tapi kembalikan ke buruh. Komponen pengeluaran besar buruh adalah penginapan dan transportasi. Dana Jamsostek yang surplus sekitar satu triliun rupiah itukan bisa dikembalikan ke buruh dengan membangun perumahan buruh yang tersebar di sekitar sentra industri. Artinya, buruh bisa save biaya transportasi dan memberikan hidup yang lebih layak.
Bahkan, buruh sebenarnya mau berkompromi untuk menunda pemenuhan hak yang mereka tuntut. Tidak apa-apa upah tidak dinaikkan untuk sementara. Tapi pemerintah jangan menaikkan harga barang, listrik dan layanan publik lainnya dong. Dana Jamsostek itu juga seharusnya bisa dijadikan solusi dalam hal kesejahteraan buruh.
Fakta tetap mengatakan, jumlah pengangguran terus bertambah. Jelas, mau tidak mau, semua mata serasa tertuju ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) sebagai operator (pemerintah) penyelesaian soal ketenagakerjaan ini. Untuk menanggulangi masalah penganggur dan setengah penganggur, efek netto dari hasil pembangunan yang diperkirakan akan semakin baik di masa mendatang perlu didistribusikan kembali kepada masyarakat dalam berbagai bentuk, antara lain terciptanya kesempatan kerja produktif dan remunerative. Dengan cara ini, redistribusi pendapatan dalam bentuk seperti pengalihan subsidi BBM tidak perlu lagi dilakukan, atau hanya bersifat supplemen bilamana keadaan terlalu memaksa.
Kebijakan itu perlu ditempuh untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar dari sekadar dampak negatif, seperti yang kita alami sekarang ini. Ketidak-stabilan peta politik dan keamanan, kemungkinan besar akan semakin parah dan mengganggu sendi-sendi pembangunan lainnya. Bila hal ini benar-benar terjadi, Indonesia akan berada pada bibir jurang kehancuran yang sulit dihindarkan. Untuk itu seluruh komponen bangsa, termasuk instansi-instansi pemerintah yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan dan ketenaga-kerjaan untuk harus segera mengkonsolidasikan diri, bersama-sama mengatasi masalah ini. Konsolidasi ini, mencakup berbagai aspek penting, antara lain: identifikasi dan pemilihan program, pembiayaan, koordinasi pelaksanaan, pengawasan dan lain-lain. Tanpa harus mengabaikan core-programe masing-masing instansi atau pihak terkait, aspek penanggulangan pengangguran harus dijadikan sebagai titik perhatian. Depnaker tidak mampu mengatasi pengangguran. Yang mampu mengatasinya adalah semua sektor, pemerintah dan masyarakat sendiri, harus bersama-sama.
Selama ini Depnakertranas sudah menyebarkan informasi dan mendorong ke arah wira-usaha. Umumnya negara berkembang, 54-60 persen sektor informal mampu menampung pencari kerja, sebagai usaha mandiri, kecil-menengah. Yang di dorong itu pencari kerjanya, baik lewat tenaga kerja pemuda mandiri professional, tenaga kerja terdidik, lalu masalah pengembangan penerapan teknologi tepat guna, maupun pola-pola pemberian kredit bank.
Selain itu, Depnakertrans juga mencoba “menyentil” instansi lain untuk peduli terhadap masalah pengangguran, supaya juga bisa membuat tolak ukur, membuat gambaran: berapa sektor kerja dan tenaga kerja yang riil ada. Seperti pertanian, dimana diharapkan mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Data-data menunjukkan, sampai dengan 40 persen, sektor pertanian menyerap tenaga kerja. Kemudian diikuti sektor kelautan. Untuk itu, departemen pertanian dan kelautan misalnya, harusnya mampu memperluas kesempatan pekerjaan di sektor mereka sendiri.
Tapi Depnakertrans mengaku, anggaran yang dimiliki sangat terbatas untuk mendorong kesempatan kerja. Untuk 2002 saja, Depnakertrans hanya mempunyai dana 40-41 milyar rupiah dan dibagikan ke seluruh Indonesia. Programnya mencakup pelatihan dan upaya-upaya pendorongan ke wira-usaha. Idealnya untuk penanggulangan penganggur ini, Depnakertrans diberikan dana sekitar 1 trilyun rupiah agar sampai tenaga kerja sarjana bisa di tampung dan fokuskan pada pengembangan desa. Karena desa memerlukan ahli, motivator, perencana, dinamisator masyarakat desa.
Sampai sekarang Depnakertrans juga belum mempunyai peta potensi wilayah dan pengangguran sampai ke daerah terkecil, seperti kelurahan dan desa. Daerah tidak pernah meng-update data yang ada. Bagaimana mungkin Depnaker bisa menjalankan programnya jika basis data saja tidak punya? Sudah pernah di mintakan ke Pemda, seperti data penganggur, dimana, latar-belakangnya dan potensi wilayah yang ada. Tapi tidak pernah ada. Masalahnya, Pemda hanya mengharapkan PAD, tidak pernah memikirkan bagaimana masyarakatnya makmur, sejahtera dan berkembang dan tidak menganggur. Dengan otonomi daerah, pemerintah pusat hanyalah pembuat kebijakan, fasilitator, pendorong dan pemberi wacana-wacana. Praktek dan rill di lapangan, Pemdalah yang mengurusi semuanya.
Selain mempunyai Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009, Depnakertrans lewat Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri juga mempunyai program dan kegiatan yang diarahkan untuk pencapaian Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja serta Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Kegiatan yang dilaksanakan adalah:
a. Merumuskan pedoman atau petunjuk teknis, mengimplementasikan dan mensosialisasikan kebijakan pembinaan yang bertujuan untuk :
1. Membangun sistem peningkatan kualitas tenaga kerja ;
2. Meningkatkan kualitas pelayanan di Bidang Perluasan Kesempatan Kerja dan Penempatan Kerja ;
3. Meningkatkan kerjasama dengan lembaga-lembaga nasional maupun internasional ;
4. Mendorong peranan masyarakat luas di Bidang Ketenagakerjaan meliputi pelatihan, penempatan dan produktivitas tenaga kerja.
b. Pengembangan Kesempatan Kerja, dalam T.A. 2003 telah dilaksanakan :
1. Perluasan lapangan kerja bagi 120.561 orang meliputi :
- Pendayagunaan tenaga kerja pemuda mandiri profesional, tenaga kerja sarjana dan tenaga kerja mandiri terdidik sebanyak 67.734 orang.
- Terapan teknologi tepat guna 4.855 orang.
- Padat karya produktif 44.317 orang.
- Penciptaan wirausaha baru 2.280 orang.
- Pembinaan dan pendayagunaan anak jalanan dan pedagang asongan 690 orang.
- Pengembangan model perluasan kerja 685 orang.
2. Penempatan Tenaga Kerja AKAD : 21.200 orang.
3. Pelatihan ketrampilan sebanyak 42.951 orang meliputi :
- Pelatihan institusional : 14.800 orang.
- Pelatihan MTU : 20.485 orang.
- Pelatihan Magang : 1.088 orang.
- Pelatihan Teknisi :1.225 orang.
- Pelatihan kewirausahaan : 2.764 orang.
- Pelatihan melalui anggaran DPKK-TKI : 2.589 orang.
4. Pelaksanaan pemagangan ke Jepang sebanyak 4.790 orang
5. Pelatihan untuk angkatan kerja khusus seperti penyandang cacat dan lanjut usia sebanyak 1.276 orang.
6. Pemberian bantuan peralatan kepada 78 lembaga pelatihan BLK/LLK dan 12 pondok pesantren.
7. Pemberian ijin tenaga kerja asing (IKTA) sebanyak 19.898 orang.
Tampaknya, semua perencanaan yang “terkesan” bagus itu, harus benar-benar menjadi perhatian Depnakertrans. Apalagi, jika bicara soal ketenagakerjaan, ada beberapa tugas yang bisa dilakukan direktoratnya: pembinaan yang menyangkut peningkatan kualitas sumber daya manusia, penempatan, hingga SDM bisa bekerja secara produktif. “SDM kita belum mampu bersaing. Untuk itu, kita upayakan agar dengan standar kompetisi, SDM nantinya mampu mengisi lowongan pekerjaan dan bahkan menciptakan lapangan pekerjaan.
Tidak kompetitifnya SDM Indonesia, terbukti pada lomba ketrampilan se-Asia pada dua tahun lalu. Saat itu, Indonesia hanya memperoleh perunggu untuk kompetisi di bidang otomotif, eletronik dan lainnya itu. Apalagi, SDM Indonesia ditempatkan pada posisi 112 dari 117 negara yang diteliti. Belum lagi bicara soal banyaknya tenaga kerja asing yang masuk dan mengisi pekerjaan di Indonesia. Karena tenaga kerja Indonesia belum mampu mengisinya. TKI saja masih dalam posisi menengah.
Soal penanggulangan pengangguran dan perencanaan tenaga kerja nasional seharusnya juga ada di tiap daerah, terkait dengan semangat otonomi daerah. Sejak otonomi daerah, pusat dan daerah terputus. Padahal, pusat hanya pembuat kebijakan, penjabarannya ada di daerah.
Sekitar 2005, di tingkatkan sektor formal. Sehingga pada 2006, sektor informal bisa di persiapkan, dan tahun-tahun berikutnya baru di dorong migrasi tenaga kerja di sektor informal menuju sektor formal. Ini berarti, nasib ketenagakerjaan akan semakin memburuk sampai ada kejelasan pada 2006.
C. Tahun 2004 Pengangguran Berkurang, Tingkat Kemiskinan Kembali ke Sebelum Krisis
Jika perekonomian tumbuh lima persen pada tahun 2004, Indonesia dapat mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Jika berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi lima persen tahun 2004 ini, tingkat kemiskinan Indonesia akan kembali ke posisi sebelum krisis.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 tercatat 4,3 persen. Tahun 2004 ini pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 4,8-5,0 persen. Sementara tingkat pengangguran terbuka tahun 2003 tercatat 10 juta orang.
Tingkat kemiskinan sudah lebih baik daripada waktu krisis. Sekadar dengan mengerem investasi dan mempergunakan subsidi langsung, tingkat kemiskinan di Indonesia sebetulnya sekarang sudah kembali ke waktu kita mau masuk krisis, tahun 1996. Untuk tingkat pengangguran, semoga tahun ini kita dapat menunjukkan apa artinya (pertumbuhan ekonomi) naik dari empat persen ke lima persen.
Untuk mencapai pertumbuhan lima persen, perekonomian Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan konsumsi dan pasar dalam negeri, tetapi harus memanfaatkan ekspor, pasar luar negeri.
Selanjutnya, jika ingin kembali ke tingkat pertumbuhan ekonomi enam persen, investasi harus digalakkan. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tujuh persen, perekonomian Indonesia harus menggalakkan ekspor dan investasi.
Sekarang, investasi yang di lakukan baru investasi prasarana, seperti proyek sejuta rumah, proyek 700 km jalan tol, pembangunan pembangkit tenaga listrik yang baru, pembangunan sistem irigasi, dan proyek banjir kanal timur di Jakarta.
Tahun 2004 pemerintah menggerakkan ekspor agar pada tahun 2005 ekspor mulai meningkat dan investor akan merasa lebih pasti lagi dalam menanamkan modalnya. Diharapkan, penanaman modal bergeser dari sekadar pembelian reksa dana, obligasi korporasi, dan surat utang negara menuju penggunaan dana untuk penanaman modal langsung.
Untuk tahun 2004, ekspor nonmigas ditargetkan tumbuh mencapai tujuh persen dari tahun sebelumnya. Hal itu dapat dicapai melalui penetrasi pasar dan penguatan daya saing. Salah satu unsur penguatan daya saing adalah pemberian fasilitas perpajakan. Tax holiday sama sekali tidak termasuk fasilitas perpajakan yang dimaksud.
Tidak adil jika penanaman modal asing (PMA) langsung hanya diukur dari perizinan yang diberikan BKPM. Alasannya, yang masuk ke BKPM adalah persetujuan untuk perusahaan yang meminta fasilitas. Banyak investasi yang juga sudah masuk ke Indonesia, tetapi tidak membutuhkan fasilitas. Dalam kenyataannya, apa lagi fasilitas yang bisa kita tawarkan kepada mereka Tidak banyak. Oleh karena itu, sudah disiapkan angka-angka yang benar-benar dapat dipercaya dan mewakili jumlah PMA langsung yang masuk ke Indonesia.

BAB III
P E M B A H A S A N


A. Penanggulangan Pengangguran di Indonesia
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Pembangunan bangsa Indonesia kedepan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental serta mempunyai ketrampilan dan keahlian kerja, sehingga mampu membangun keluarga yang bersangkutan untuk mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap dan layak, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan dan pendidikan anggota keluarganya.
Dalam pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang bertumpu pada sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter harus mengarah pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Untuk menumbuh kembangkan usaha mikro dan usaha kecil yang mandiri perlu keberpihakan kebijakan termasuk akses, pendamping, pendanaan usaha kecil dan tingkat suku bunga kecil yang mendukung.
Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota harus merupakan satu kesatuan yang saling mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan kerja.
B. Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP).
Mengingat 70 persen penganggur didominasi oleh kaum muda, maka diperlukan penanganan khusus secara terpadu program aksi penciptaan dan perluasan kesempatan kerja khusus bagi kaum muda oleh semua pihak.
Berdasarkan kondisi diatas perlu dilakukan Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP) dengan mengerahkan semua unsur-unsur dan potensi di tingkat nasional dan daerah untuk menyusun kebijakan dan strategi serta melaksanakan program penanggulangan pengangguran. Salah satu tolok ukur kebijakan nasional dan regional haruslah keberhasilan dalam perluasan kesempatan kerja atau penurunan pengangguran dan setengah pengangguran.
Gerakan tersebut dicanangkan dalam satu Deklarasi GNPP yang diadakan di Jakarta 29 Juni 2004. Lima orang tokoh dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perwakilan pengusaha, perwakilan perguruan tinggi, menandatangani deklarasi tersebut, merekaadalah Gubernur Riau H.M. Rusli Zainal; Walikota Pangkal Pinang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung H. Zulkarnaen Karim; Palgunadi; T. Setyawan,ABAC; pengusaha; DR. J.P. Sitanggang, UPN Veteran Jakarta; Bambang Ismawan, Bina Swadaya, LSM; mereka adalah sebagian kecil dari para tokoh yang memandang masalah ketenagakerjaan di Indonesia harus segera ditanggulangi oleh segenap komponen bangsa.
Menurut para deklarator tersebut, bahwa GNPP ini dimaksudkan untuk membangun kepekaan dan kepedulian seluruh aparatur dari pusat ke daerah, serta masyarakat seluruhnya untuk berupaya mengatasi pengangguran.
Dalam deklarasi itu ditegaskan, bahwa untuk itu, sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebaiknya segera dibentuk Badan Koordinasi Perluasan Kesempatan Kerja.
Kesadaran dan dukungan sebagaimana diwujudkan dalam kesepakatan GNPP tersebut, menunjukan suatu kepedulian dari segenap komponen bangsa terhadap masalah ketenagakerjaan, utamanya upaya penanggulangan pengangguran. Menyadari bahwa upaya penciptaan kesempatan kerja itu bukan semata fungsi dan tanggung jawab Depatemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, akan tetapi merupakan tanggung jawab kita semua, pihak pemerintah baik pusat maupun daerah, dunia usaha, maupun dunia pendidikan. Oleh karena itu, dalam penyusunan kebijakan dan program masing-masing pihak, baik pemerintah maupun swasta harus dikaitkan dengan penciptaan kesempatan kerja yang seluas-luasnya.
Konsepsi.
Sementara itu dalam Raker dengan Komisi VII DPR-RI 11 Pebruari 2004 yang lalu, Menakertrans Jacob Nuwa Wea dalam penjelasannya juga berkesempatan memaparkan konsepsi penanggulangan pengangguran di Indonesia, meliputi keadaan pengangguran dan setengah pengangguran; keadaan angkatan kerja; dan keadaan kesempatan kerja; serta sasaran yang akan dicapai. Dalam konteks ini kiranya paparan tersebut masih relevan untuk diinformasikan.
Dalam salah satu bagian paparannya Menteri menyebutkan, bahwa pembukaan UUD 1945 mengamanatkan: "... untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa ...". Selanjutnya secara lebih konkrit pada Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa : " tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan " dan pada Pasal 28 D ayat (2) menyatakan bahwa:" Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja". Hal ini berarti, bahwa secara konstitusional, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan pekerjaan dalam jumlah yang cukup, produktif dan remuneratif. Kedua Pasal UUD 1945 ini perlu menjadi perhatian bahwa upaya-upaya penanganan pengangguran yang telah dilaksanakan selama ini masih belum memenuhi harapan, serta mendorong segera dapat dirumuskan Konsepsi Penanggulangan Pengangguran.
Selanjutnya Menakertrans menyatakan, Depnakertrans dengan mengikut sertakan pihak-pihak terkait sedang menyusun konsepsi penanggulangan pengangguran. Dalam proses penyusunan ini telah dilakukan beberapa kali pembahasan di lingkungan Depnakertrans sendiri, dengan Tripartit secara terbatas (Apindo dan beberapa Serikat Pekerja); dan juga pembahasan dengan beberapa Departemen dan Bappenas. " Memperhatikan kompleksnya permasalahan pengangguran, disadari bahwa penyusunan konsepsi tersebut masih perlu didiskusikan dan dikembangkan lebih lanjut dengan berbagai pihak yang lebih luas, antara lain sangat dibutuhkan masukan dan dukungan sepenuhnya dari Anggotra DPR-RI yang terhormat khususnya Komisi VII; masih memerlukan waktu dan dukungan biaya sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan suatu Konsepsi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia yang didukung oleh seluruh komponen masyarakat", tutur Menteri Jacob Nuwa Wea.
C. Solusi Masalah Pengangguran di Indonesia
Sekitar 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah penggangur (underemployed) bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini dan ke depan. Sepuluh juta penganggur terbuka berarti sekitar separo dari penduduk Malaysia.
Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, energi listrik, sepatu, jasa dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan berapa ton beras dan kebutuhan lainnya harus disubsidi setiap harinya.
Bekerja berarti memiliki produksi. Seberapa pun produksi yang dihasilkan tetap lebih baik dibandingkan jika tidak memiliki produksi sama sekali. Karena itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya.

Sering berbagai pihak menyatakan persoalan pengangguran itu adalah persoalan muara. Berbicara mengenai pengangguran banyak aspek dan teori disiplin ilmu terkait. Yang jelas pengangguran hanya dapat ditanggulangi secara konsepsional, komprehensif, integral baik terhadap persoalan hulu maupun muara. Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh sebagai berikut.
Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.
Kebijakan Mikro
Selain itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa poin. Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas.
Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang.
Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu
Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia maupun keuangan (finansial).
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci, keberadaaan lembaga itu dapat disusun dengan baik.
Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang.
Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan, segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.
Pihak-pihak yang terlibat sangat banyak dan kompleks sehingga hal itu perlu dicegah dengan berbagai cara terutama penyempurnaan berbagai kebijakan.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif.
Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja bagi para penggemar sesuai pendidikannya, keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau setengah penganggur, atau orang yang baru masuk ke pasar kerja, dan sebagainya.
Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.
Selain itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa poin. Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal.
Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur.
Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Kedelapan, segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.
B. Kritik dan saran
Demikianlah makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita bersama. Ibarat ”tak ada gading yang tak retak”, tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan makalah selanjutnya. Terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

--------------. Tahun 2004 Pengangguran Berkurang, Tingkat Kemiskinan Kembali ke Sebelum Krisis. Kompas. Jakarta
Daulat Sinuraya. Solusi Masalah Pengangguran di Indonesia. Suara Pembaruan Daily. 2004
Deklarasi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia, 29 Juni 2004; Bahan Raker Komisi VII DPR-RI dan Menakertrans, 11 Pebruari 2004.
Elwin Tobing. Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik. Media Indonesia. 2004
Levi Silalahi . Masalah Buruh-Pengusaha Belum Terpecahkan, Pengangguran Terus Bertambah. Depnakertrans. 2004
Majalah Nakertrans Edisi - 03 TH.XXIV-Juni 2004
Muchamad Nafi. Tiap Tahun, Angka Pengangguran Indonesia Naik.Tempo Interaktif. Jakarta. 2004
Statistik Tahunan Indonesia, 1985, 1995, 1998

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Mohon di Klik

Entri Populer