Senin, 01 Desember 2008

PENYEBAB TIDAK EFISIENNYA BIROKRASI INDONESIA DI TINJAU DARI ASPEK BUDAYA

PENYEBAB TIDAK EFISIENNYA BIROKRASI INDONESIA
DI TINJAU DARI ASPEK BUDAYA

1. Pendahuluan

Birokrasi adalah sebuah struktur organisasi yang dicirikan dengan 1) adanya prosedur-prosedur yang dijalankan secara rutin, 2) tanggung jawab yang terbagi-bagi, 3) hirarki yang jelas, dan 4) relasi yang sifatnya impersonal. Struktur Birokrasi biasanya digunakan oleh organisasi yang besar. Di organisasi seperti ini diperlukan sebuah sistem legal berupa peraturan dan prosedur tertulis berikut hirarki kewenangan yang terstruktur agar seluruh bagian organisasi dapat terkendali geraknya. Sebagai konsekuensinya, pihak-pihak yang menjadi pelaksana organisasi harus memiliki kompetensi di bidang masing-masing dan bekerja mengikuti prosedur yang ada. Prosedur tersebut dibangun dengan seksama untuk memunculkan perilaku-perilaku yang memang diharapkan organisasi. Kombinasi dari hirarki, keteraturan, dan kompetensi ini diharapkan akan membuat organisasi menjadi rasional, efisien, dan profesional.

2. Penyebab tidak efisennya Birokrasi

Penyebab tidak efisiennya birokrasi pemerintahan Indonesia ditinjau dari aspek budaya dikarenakan kurangnya kompetensi yang dimiliki anggota instansi pemerintah. Ditambah lagi dengan peraturan dan prosedur yang seringkali tidak jelas dan berubah-ubah. Selain itu, karena ada unsur hirarki yang kuat pada organisasi yang mengambil bentuk birokrasi, maka mestinya pimpinan-pimpinannya betul-betul pimpinan yang bisa menegakkan aturan dan prosedur.
Yah, memang perkara birokrasi pemerintah ini tak habis-habis dibahas. Sebagaimana yang kerap muncul dalam media, instansi pemerintah begitu banyak disorot karena kasus-kasus inefektivitas dan inefisiensi yang terjadi di dalamnya. Hari ke hari, surat kabar tak pernah lepas memberitakan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai instansi pemerintah, mulai dari kalangan pegawai pelaksana yang sekadar mengurus administrasi Kartu Penduduk, hingga tataran pejabat yang seharusnya menegakkan amanat rakyat. Kondisi ini memunculkan pandangan bahwa kondisi birokrasi pemerintahan identik dengan segala inefisiensi dan inefektivitas. Ketika publik mendengar kata “birokrasi”, yang segera terbayang adalah kondisi instansi pemerintah yang carut marut dan sarat dengan penyimpangan yang dilakukan anggotanya. Apakah itu berarti birokrasi adalah hal yang jelek?
Konsep birokrasi dikembangkan sudah melalui kajian seksama terhadap kebutuhan suatu bentuk organisasi tertentu. Birokrasi pada dasarnya adalah suatu struktur administratif yang dikenakan pada organisasi yang besar (tidak terbatas pada instansi pemerintah saja), yang tujuannya adalah agar organisasi tersebut menjadi rasional, efisien, dan profesional.
Di dalam struktur birokrasi, tata hubungan tugas secara horisontal dan tata kewenangan vertikal diatur secara jelas. Dengan demikian sudah tidak perlu dipertanyakan lagi apa peran dan tugas seseorang dalam organisasi karena jabaran akuntabilitasnya sudah jelas. Jadi, tidak lagi setiap kali harus ada pengambilan kesepakatan apa saja yang menjadi tugas keseharian seseorang.
Tersedianya peran dan tugas yang jelas tersebut kemudian diikuti dengan tata peraturan dan standar-standar kerja yang mengatur bagaimana cara mengerjakan tugas. Adanya pedoman yang jelas ini akan mengurangi beban pengawasan seorang pimpinan terhadap bawahannya, sekaligus membantu meningkatkan integrasi organisasi karena gerak kerja anggotanya sudah ditertibkan.
Di dalam struktur birokrasi, posisi dipisahkan dari personelnya. Artinya, di dalam rumusan posisi sudah jelas apa saja syarat-syarat personel yang bisa menempatinya, dan apa tanggung jawab si personel ketika ia menduduki posisi tersebut. Apa yang diharapkan dari sebuah peran sudah jelas dan menjadi akuntabilitas siapa pun pemegang peran tersebut. Pegawai didorong untuk berusaha memenuhi apa yang diharapkan darinya. Jadi, anggota organisasi tidak boleh menggunakan posisi untuk memenuhi kepentingan pribadi. Kalau sampai itu terjadi, berarti ada peraturan yang dilanggar dan yang bersangkutan dapat dikenai sanksi.

3. Birokrasi yang efektif
Agar birokrasi berjalan efektif, tentu saja persyaratan pertama adalah ada kejelasan tata organisasi. Tata hubungan pekerjaan harus diatur bermuara pada efektivitas pencapaian tujuan organisasi. Uraian pekerjaan harus menggambarkan akuntabilitas dan prasyarat kompetensi si pengisi pekerjaan. Sistem seleksi, promosi, dan imbalan, serta peraturan dan cara-cara kerja harus dirumuskan dengan tepat secara tertulis dan diimplementasikan dengan baik.
Sementara itu dari anggota organisasi dituntut suatu pola pikir dan pola tindak tertentu. Seluruh anggota instansi pemerintah harus memahami dan mengikuti prinsip-prinsip birokrasi. Mereka harus menyadari bahwa mengemban peran tertentu berarti mereka diberi suatu tanggung jawab. Tanggung jawab yang dimaksud adalah untuk menggunakan kewenangan yang diberikan kepadanya guna mengalokasikan dan mengendalikan berbagai sumberdaya organisasi untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi. Posisi adalah tanggung jawab, bukan bentuk imbalan atau tanda kekuasaan.
Syarat lainnya adalah setiap pimpinan harus menegakkan objektivitas dalam membuat keputusan. Mereka tidak boleh membiarkan hubungan pribadi mempengaruhi keputusan-keputusan mereka. Sementara itu, anggota organisasi lainnya harus mengkritisi cara jajaran pimpinan membuat keputusan. Jika ada indikasi penyelewenangan, mereka harus berani mengajukan keberatan dengan alasan-alasan yang objektif.
Struktur Birokrasi juga baru berjalan efektif jika selalu dilakukan riviu. Agar tata kerja tetap jelas dan tidak menjadi kabur atau terselewengkan, secara periodik anggota-anggota satuan kerja harus bertemu untuk memastikan kembali bahwa hubungan kerja di antara berbagai peran yang ada tetap jelas. Juga harus dipastikan bahwa peraturan-peraturan yang digunakan masih memenuhi kebutuhan yang berkembang. Oleh sebab itu, baik pimpinan maupun anggota harus memiliki sikap kritis. Mereka harus mencermati terus bagaimana jalannya organisasi, dan bukan semata-mata menjadi pelaksana peraturan terus-menerus tanpa menimbang kembali kepentingan dan dampak baik peraturan tersebut.
Apakah pola pikir dan pola tindak itu ada di kalangan pegawai instansi pemerintah kita? Nah, ini salah satu kendala yang paling besar. Unsur perilaku ini layak kita cermati sebagai psikolog. Apakah kultur sebagai orang Indonesia punya kontribusi terhadap tersendatnya efektivitas birokrasi pemerintahan?
Hasil penelitian Geert Hofstede pada masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peringkat Power Distance Index (PDI) yang tinggi, Individualism (IDV) yang tergolong rendah, Masculinity (MAS) yang moderat, dan Uncertainty Avoidance Index (UAI) yang juga relatif moderat. Apa maknanya, dan bagaimana implikasinya pada kecenderungan pola pikir dan pola tindak para birokrat di instansi pemerintah?
Dari studi Hofstede diketahui bahwa kultur Indonesia basisnya adalah PDI yang tinggi. Masyarakat kita cenderung bisa menerima adanya inekualitas. Kita mengakui bahwa orang yang satu dan yang lain bisa memiliki daya (power) yang berbeda. Misalnya, orang yang jabatannya tinggi dipandang layak memiliki kewenangan dan/atau kemudahan-kemudahan tertentu. Begitu pula dalam pembuatan keputusan, atasan dipandang yang paling berhak membuat keputusan. Karena kuat pada aspek PDI, maka tidak ada kebutuhan untuk UAI yang tinggi (sehingga UAI ditemukan pada tingkatan moderat saja). UAI yang moderat ini sebetulnya juga karena PDI yang tinggi. Masyarakat kita tidak terlalu terganggu oleh permasalahan dan ketidakastian karena meyakini ada hirarki yang lebih tinggi yang akan membuat keputusan. Di kalangan pegawai instansi pemerintah, hal ini dikenal sebagai gejala “menunggu petunjuk atasan”. Akibatnya, tidak muncul tuntutan bahwa dirinya juga memikul tanggung jawab untuk memastikan tugas-tugas terlaksana dengan baik. Sepanjang petunjuk/keputusan dari atasan belum turun, tidak teralu dirasakan adanya kepentingan untuk berinisiatif menuntaskan masalah yang belum selesai. Itu sebabnya posisi tidak dipandang sebagai tanggung jawab personal.
Sementara itu, ciri kultur Indonesia yang lain, kolektivitas yang tinggi (konsekuensi dari peringkat IDV yang rendah) mengisyaratkan bahwa bersikap dan bertindak obyektif dan impersonal bukan hal yang mudah dilakukan. Ikatan personal yang kuat antara satu orang dengan yang lain memunculkan perilaku “ewuh pakewuh”. Banyak aturan-aturan normatif yang membatasi sikap-sikap asertif dan obyektif. Sopan santun pada yang lebih senior atau yang hirarkinya lebih tinggi muncul dalam manifestasi rasa sungkan untuk mempertanyakan sesuatu. Sentimen kelompok berpengaruh lebih kuat daripada hal-hal yang rasional obyektif. Ini juga cerminan dari MAS yang hanya moderat. Pada jajaran pengawai instansi pemerintah, hal ini muncul dalam sikap-sikap berusaha menghindari konflik dan menjaga hubungan baik. Untuk itu jarang sekali ada iklim yang kondusif untuk berani mempertanyakan prosedur atau keputusan yang dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan aktual.
Dengan basis pemikiran PDI yang tinggi, maka hirarki dan kekuasaan (power) dipandang sebagai satu kesatuan. Seseorang dalam posisi yang lebih tinggi memiliki kekuasaan yang lebih dari mereka yang ada di bawahnya. Sebaliknya, orang-orang yang dipandang memiliki kekuasaan dipandang layak menempati posisi yang lebih tinggi. Kerancuan membedakan hirarki dan kekuasaan ini merupakan sumber dari penyimpangan paradigma Birokrasi . Di dalam logika birokrasi, hirarki tidak berarti kekuasaan karena posisi adalah tanggung jawab pada stakeholder. Dengan demikian kewenangan-kewenangan yang diberikan pada suatu posisi yang tinggi di instansi adalah untuk mendorong tercapainya pemenuhan kebutuhan publik, bukan suatu bentuk kekuasaan yang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi. Pada kenyataannya, karena hirarki dipandang sebagai kesatuan dengan kekuasaan, maka jabatan struktural kerap dipandang sebagai peluang untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik. Oleh sebab itu banyak pegawai instansi pemerintah berlomba-lomba untuk mencapai jabatan struktural dengan pemikiran untuk mensejahterakan dirinya, bukan untuk mengambil tantangan mengemban amanat rakyat yang lebih besar.
Kesenjangan antara pola pikir dan pola tindak masyarakat kita dengan yang dipersyaratkan Birokrasi inilah yang membuat sulit untuk menciptakan perubahan. Nah, jika kita mau menjadi ahli perilaku, masalah pola pikir dan pola tindak anggota organisasi pemerintahan tak kalah menariknya untuk disimak dibanding perilaku karyawan di perusahaan swasta. Banyak sekali dinamika psikologis dibalik isu birokrasi pemerintahan ini. Awalnya mungkin saja tidak mudah dipahami, tapi jangan cepat-cepat memandang topik birokrasi pemerintahan sebagai sesuatu yang membosankan dan sama sekali tidak menarik. Gunakan kacamata psikologi kita dan pandang secara cermat, kita akan temukan keunikannya.
4. Gambaran Birokrasi Indonesia

Semenjak masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, persoalan kinerja birokrasi dituduhkan oleh banyak pihak sebagai musabab keterpurukan bangsa ini. Akarnya jelas: birokrasi lambat, tidak efisien, tidak efektif, tidak tanggap, dan ditengarai banyak diwarnai dengan praktik korupsi. Birokrasi juga dituding menjadi salah satu penyebab praktik penyalahgunaan kewenangan.

Buruknya kinerja birokrasi sebagai perpanjangan tangan penerapan kebijakan publik pemerintah justru menjadi faktor penghambat efektivitas dan efisiensi bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah di lapangan. Melihat kenyataan tersebut, sudah selayaknya dilakukan reformasi besar-besaran yang mencakup keseluruhan sistem birokrasi untuk menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan.

Bagi proses pemerintahan yang baik, birokrasi bisa diibaratkan sebagai aliran darah dalam sistem anatomi tubuh manusia. Jika terjadi ketidakpatutan dalam sistem birokrasi, sudah dapat dipastikan itikad sebaik apapun tidak akan pernah terwujud.

Ini artinya, bangsa ini akan selalu berkutat pada kubangan lumpur yang sama dan tidak akan pernah dapat keluar tanpa adanya perubahan dan perbaikan birokrasi. Meski banyak orang mengakui buruknya kinerja birokrasi tetapi tidak banyak perubahan berarti yang dapat dirasakan masyarakat.

Sejak Presiden Soekarno hingga kini masalah ini tidak terurai dengan baik. Presiden Megawati juga sempat mengeluhkan masalah yang sama dengan mengatakan bahwa birokrasi sebagai keranjang sampah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun masih menunjukkan tanda tanya besar tentang ke arah mana upaya perbaikan birokrasi akan dibawa. Pemerintahannya padahal berkomitmen untuk memerangi korupsi melalui program 100 hari yang dicanangkannya pada awal permulaan.

Pada masa Soekarno pernah diupayakan suatu cara untuk membersihkan aparat pemerintah dengan melalui dibentuknya Panitia Retooling Aparatur Negara. Selain itu, Kementerian Negara Urusan Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara sebagai cikal bakal didirikannnya Kementerian Aparatur Negara sudah dibentuk semenjak 1969.

Lembaga Administrasi Negara juga telah dibentuk dengan tujuan untuk melakukan penyempurnaan sistem birokrasi dan juga melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi aparatur negara.

Badan-badan negara inilah yang sebenarnya diharapkan mampu melakukan pembinaan dan pengaturan terhadap keberadaan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai aparat birokrasi. Berbagai upaya yang telah dilakukan tetap saja menunjukkan betapa persoalan birokrasi telah sedemikian berakar. Masalah ini tidak mudah diatasi padahal harusnya secara serius dibenahi.
Pertanyaan besar yang harus segera dijawab adalah di mana letak kesalahan upaya-upaya pembenahan birokrasi yang telah dilakukan tersebut. Semenjak isu reformasi dicetuskan, ternyata agenda reformasi belum banyak membawa perubahan signifikan pada reformasi di bidang birokrasi.

6. Mekanisme Rekrutmen

Sebuah studi terbaru dilakukan menyimpulkan bahwa salah satu upaya pembenahan birokrasi yang bisa dilakukan adalah melalui transparansi mekanisme perekrutan PNS. Hal ini perlu dilakukan untuk menemukan bibit-bibit baik yang layak duduk sebagai pejabat aparatur negara.

Namun pada kenyataannya, upaya perbaikan mekanisme perekrutan tersebut juga masih belum dapat sepenuhnya menjamin kualitas aparatur negara. Masyarakat luas juga telah mengetahui bahwa sekalipun proses perekrutan tersebut telah dilaksanakan dengan sedemikian ketatnya, namun yang kerap kali terjadi bibit-bibit pilihan dari seleksi tetap tak luput dari berbagai dorongan untuk ikut andil dalam sistem birokrasi yang membiarkan praktik-praktik birokrasi yang tidak sepatutnya terjadi.

Agaknya upaya reformasi birokrasi harus dilakukan secara menyeluruh tidak hanya melalui perbaikan dan pengawasan pada mekanisme perekrutan yang harus transparan tetapi juga meliputi keseluruhan sistem birokrasi. Upaya perbaikan menyeluruh tersebut juga meliputi perbaikan berbagai hal yang memberikan peluang pada praktik-praktik penyimpangan birokrasi oleh apratur negara.

Misalnya saja, proses pembuatan Kartu Tanda Pendudukan (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), dan perbagai proses permohonan izin lainnya, masyarakat kerap kali harus menempuh kesulitan proses birokrasi yang tidak jelas, panjang, dan juga biaya ekstra.

Hal-hal semacam inilah yang tidak hanya menggangu jalannya roda aktivitas masyarakat sehari-hari, akan tetapi juga mengganggu berbagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat. Bagi para investor, hal tersebut merupakan salah satu gangguan besar yang dapat mengurangi daya kompetitif dari kegiatan ivestasi tersebut.

Bila berlanjut, yang terjadi adalah keengganan investor untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Ini artinya hal tersebut akan merusak prospek ekonomi makro Indonesia dan memperpanjang keterpurunan negeri ini.

Pendek kata, sambungnya praktik birokrasi Indonesia akan semakin membuat bangsa ini semakin sulit keluar dari kubangan kesulitan dan keterpurukan, kecuali jika berbagai pihak secara sadar dan benar-benar serius berkomitmen untuk melakukan perubahan signifikan bagi kemajuan bangsa ini.





7. Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa struktur Birokrasi dimunculkan ketika di dalam organisasi (yang biasanya berukuran besar) dibutuhkan suatu keselarasan yang dalam hal ini dicapai dengan mengatur gerak anggota-anggotanya. Birokrasi bergerak seperti mesin yang memiliki mekanisme untuk mengatur komponen-komponen di dalamnya sehingga dapat menghasilkan produk dengan standar kualitas yang diinginkan. Mungkin dari pembahasan kami diatas sungguh masih jauh dari sempurna dan masih banyak lagi sebab-sebab lain yang membuat birokrasi tidak efisien. tetapi setidaknya ini dapat memberikan gambaran yang rill mengenai kondisi birokrasi kita.
8. Daftar Pustaka
Harsutanto, begi, Menata birokrasi, Memangkas korupsi, Sinar harapan, Jakarta, 2006
Tim konsultan LPTUI, Birokrasi Pemerintahan Indonesia, Jakarta 2007

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca artikel ini, mohon komentar anda dan jangan bosan untuk membaca artikel lainnya, tulis nama anda setelah berkomentar, trims.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Mohon di Klik

Entri Populer