Jumat, 31 Juli 2009

Asal Mula Danau Tes


Danau Tes merupakan danau terbesar di Provinsi Bengkulu, yang terbentang di antara Dusun Kutei Donok dan Tes, Kecamatan Lebong Selatan, Kabupaten Lebong. Danau yang memiliki panorama indah ini sangat melegenda di kalangan masyarakat Lebong, Bengkulu. Konon, Danau Tes ini dulunya merupakan aliran Sungai Air Ketahun. Namun, karena terjadi suatu peristiwa, aliran itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah sebenarnya yang terjadi hingga menyebabkan aliran Sungai Air Ketahun tersebut berubah menjadi danau? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Tes berikut ini!

* * *

Alkisah, di Dusun Kutei Donok, Tanah Ranah Sekalawi (atau daerah Lebong sekarang ini), hidup seorang sakti bersama seorang anak laki-lakinya. Oleh masyarakat Kutei Donok, orang sakti itu dipanggil si Lidah Pahit. Ia dipanggil demikian, karena lidahnya memiliki kesaktian luar biasa. Apapun yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan. Meski demikian, ia tidak asal mengucapkan sesuatu jika tidak ada alasan yang mendasarinya.

Pada suatu hari, si Lidah Pahit berniat untuk membuka lahan persawahan baru di daerah Baten Kawuk, yang terletak kurang lebih lima kilometer dari dusun tempat tinggalnya. Setelah menyampaikan niatnya kepada para tetangganya dan mendapat izin dari Tuai Adat Kutei Donok, ia pun segera menyiapkan segala peralatan yang akan dipergunakan untuk membuka lahan persawahan baru.
“Anakku, kamu di rumah saja! Ayah hendak pergi ke daerah Baten Kawuk untuk membuka lahan persawahan baru,” ujar si Lidah Pahit kepada anaknya.

“Baik, Ayah!” jawab anaknya.

Setelah berpamitan kepada anaknya, si Lidah Pahit pun berangkat dengan membawa kapak, parang, dan cangkul. Sesampainya di daerah Baten Kawuk, ia pun mulai menggarap sebuah lahan kosong yang terletak tidak jauh dari Sungai Air Ketahun. Si Lidah Pahit memulai pekerjaannya dengan menebangi pohon-pohon besar dengan kapak dan membabat semak belukar dengan parang. Setelah itu, ia pun segera mencangkul lahan kosong itu. Tanah-tanah cangkulannya ia buang ke Sungai Air Ketahun.

Setelah dua hari bekerja, si Lidah Pahit telah membuka lahan persawahan seluas kurang lebih setengah hektar. Bagi masyarakat Kutei Donok waktu itu, termasuk si Lidah Pahit, untuk membuka lahan persawahan seluas satu hektar dapat diselesaikan dalam waktu paling lama satu minggu, karena rata-rata mereka berbadan besar dan berotot. Alangkah senang hati si Lidah Pahit melihat hasil pekerjaannya itu.

Pada hari ketiga, si Lidah Pahit kembali ke Baten Kawuk untuk melanjutkan pekerjaannya. Ia bekerja dengan penuh semangat. Ia tidak memikirkan hal-hal lain, kecuali menyelesaikan pekerjaannya agar dapat dengan segera menanam padi di lahan persawahannya yang baru itu.

Namun, tanpa disadari oleh si Lidah Pahit, para ketua adat dan pemuka masyarakat di kampungnya sedang membicarakan dirinya. Mereka membicarakan tentang pekerjaannya yang selalu membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun, sehingga menyebabkan aliran air sungai itu tidak lancar. Kekhawatiran masyarakat Kutei Donok yang paling besar adalah jika si Lidah Pahit terus membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun akan menyumbat air sungai dan mengakibatkan air meluap, sehingga desa Kutei Donok akan tenggelam.

Melihat kondisi itu, ketua adat bersama tokoh-tokoh masyarakat Kutei Donok lainnya segera bermusyawarah untuk mencari alasan agar pekerjaan si Lidah Pahit dapat dihentikan. Setelah beberapa jam bermusyawarah, mereka pun menemukan sebuah alasan yang dapat menghentikan pekerjaan si Lidah Pahit. Maka diutuslah beberapa orang untuk menyampaikan alasan itu kepada si Lidah Pahit. Sesampainya di tempat si Lidah Pahit bekerja, mereka pun segera menghampiri si Lidah Pahit yang sedang asyik mencangkul.

“Maaf, Lidah Pahit! Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan berita duka,” kata seorang utusan.

“Berita duka apa yang kalian bawa untukku?” tanya si Lidah Pahit.

“Pulanglah, Lidah Pahit! Anakmu meninggal dunia. Kepalanya pecah terbentur di batu saat ia terjatuh dari atas pohon,” jelas seorang utusan lainnya.

“Ah, saya tidak percaya. Tidak mungkin anakku mati,” jawab si Lidah Pahit dengan penuh keyakinan.

Beberapa kali para utusan tersebut berusaha untuk meyakinkannya, namun si Lidah Pahit tetap saja tidak percaya. Akhirnya, mereka pun kembali ke Dusun Kutei Donok tanpa membawa hasil.
“Maaf, Tuan! Kami tidak berhasil membujuk si Lidah Pahit untuk kembali ke kampung ini,” lapor seorang utusan kepada ketua adat.

“Iya, Tuan! Ia sama sekali tidak percaya dengan laporan kami,” tambah seorang utusan lainnya.

Mendengar keterangan itu, ketua adat segera menunjuk tokoh masyarakat lainnya untuk menyampaikan berita duka itu kepada si Lidah Pahit. Namun, lagi-lagi si Lidah Pahit tidak percaya jika anaknya telah mati. Ia terus saja mencangkul dan membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun.

Melihat keadaan itu, akhirnya ketua adat bersama beberapa pemuka adat lainnya memutuskan untuk menyampaikan langsung alasan itu kepada si Lidah Pahit. Maka berangkatlah mereka untuk menemui si Lidah Pahit di tempat kerjanya.

“Wahai si Lidah Pahit! Percayalah kepada kami! Anakmu benar-benar telah meninggal dunia,” kata ketua adat kepada si Lidah Pahit.

Oleh karena sangat menghormati ketua adat dan pemuka adat lainnya, si Lidah Pahit pun percaya kepada mereka.

“Baiklah! Karena Tuan-Tuan terhormat yang datang menyampaikan berita ini, maka saya sekarang percaya kalau anak saya telah meninggal dunia,” kata si Lidah Pahit dengan suara pelan.

“Kalau begitu, berhentilah bekerja dan kembalilah ke kampung melihat anakmu!” ujar ketua adat.

“Iya, Tuan! Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya yang tinggal beberapa cangkul ini,” jawab si Lidah Pahit.

Mendengar jawaban itu, ketua adat beserta rombongannya berpamitan untuk kembali ke Dusun Kutei Donok. Setelah rombongan itu pergi, si Lidah Pahit baru menyadari akan ucapannya tadi. Dalam hati, ia yakin betul bahwa anaknya yang sebenarnya tidak meninggal kemudian menjadi meninggal akibat ucapannya sendiri. Maka dengan ucapan saktinya itu, anaknya pun benar-benar telah meninggal dunia.

Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Ucapan si Lidah Pahit tersebut tidak dapat ditarik kembali. Dengan perasaan kesal, ia pun melampiaskan kemarahannya pada tanah garapannya. Berkali-kali ia menghentakkan cangkulnya ke tanah, lalu membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun. Setelah itu, ia pun bergegas kembali ke Dusun Kutei Donok hendak melihat anaknya yang telah meninggal dunia. Sesampainya di rumah, ia mendapati anaknya benar-benar sudah tidak bernyawa lagi.

Konon, tanah-tanah yang dibuang si Lidah Pahit itu membendung aliran Sungai Air Ketahun dan akhirnya membentuk sebuah danau besar yang diberi nama Danau Tes.

* * *

Demikian cerita Asal Mula Danau Tes dari Provinsi Bengkulu. Hingga kini, Danau Tes menjadi sumber mata pencaharian penduduk Kota Donok dan airnya telah dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Cerita di atas termasuk ke dalam kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keburukan sifat mudah percaya pada omongan orang-orang yang berpangkat atau penguasa, karena tidak selamanya ucapan seorang penguasa selalu benar. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku si Lidah Pahit yang mudah percaya dengan laporan ketua adat di kampungnya, sehingga mengakibatkan anak kesayangannya meninggal dunia. (Samsuni /sas/103/10-08)

Sumber:

Isi cerita diadaptasi dari Naim Emel Prahana. 1998. Cerita Rakyat Dari Bengkulu 2. Jakarta: Grasindo

credit : MelayuOnline.com

rejang-lebong.blogspot

Putri Lalan (Asal Usul Lagu Lalan Belek)

Cerita rakyat dari Tanah Rejang

Tempat Mandi Bidadari

Alkisah, disuatu dusun yang masih belantara, terdapatlah sebuah bulak (tempat pemandian alam) yang sangat jernih mata airnya. Konon ceritanya, ditengah malam hari setiap bulan purnama tanggal empat belas, selalu didatangi oleh tujuh bidadari cantik dari kayangan yang hendak berhajat mandi dan bersukacita. Bulak tempat mandi-mandi ketujuh bidadari dari kayangan itu memang masih perawan, karena memang belum pernah ada seorangpun yang datang dan mandi disana. Di bulak itulah ketujuh bidadari kayangan selalu mandi dan bermain dengan bebas serta bersukacita. Kejadian itupun terus berulang-ulang pada tengah malam setiap bulan purnama yang keempat belas. Setelah usai mandi dan bersenang-senang, ketujuh bidadari itupun kembali lagi terbang ke kayangan, tempat tinggal para dewa. Air bulak bekas yang habis dipakai untuk mandi-mandi para bidadari itu, selalu menimbulkan bau wewangian yang amat harum sekali.

Konon kabarnya harum wewangian di sekitar bulak itu tidak hilang-hilang sampai tujuh hari lamanya. Namun demikian, lambat laun tempat mandi-mandi para bidadari itupun diketahui oleh salah seorang nenek tua. Kebetulan nenek tua, penghuni di talang itu tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari tempat mandi-mandi para bidadari. Semula, pada suatu tengah malam di bulan purnama yang keempat belas, nenek tua itu terjaga dari tidurnya, karena dari arah kejauhan mendengar ada suara banyak orang sedang mandi. Maka nenek tua itu keluar dari talangnya dan segeralah menuju ke arah datangnya suara itu. Setelah nenek tua itu mendekati bulak dengan amat perlahan-lahan, maka tertegunkah nenek tua itu melihatnya. Tak lama kemudian, ketujuh bidadari itupun segera terbang ke angkasa menuju kayangan.

Nenek tua itupun segera kembali ke talangnya dengan penuh tanda tanya dalam pikirannya. Tidak seberapa lama kemudian, tiba-tiba hidung nenek itu mencium bau wewangian yang semerbak harumnya. Bau wewangian itu terus semerbak hingga mengganggu tidur si nenek tua. Bahkan pada keesokan harinya, bau harum itupun masih tercium dihidungnya. Oleh karena rasa ingin tahu itulah, maka bergegaslah nenek tua itu menuju ke bulak. Sesampainya dibulak, nenek itu segera memeriksa tempat yang habis dipakai mandi-mandi para bidadari semalam. Ditempat inilah nenek tua menemukan berbagai jenis bunga-bungaan yang ternyata menimbulkan bau wewangian yang amat luar biasa semerbaknya. Maka tercetuslah perkataannya: “Oi, ternyata disinilah sumber asal bau wewangiannya. Baru sekali ini kami melihatnya, ternyata tempat ini amatlah indah, mata airnya jernih, sejuk lagi pula amat nyaman udaranya”. Nenek itupun berpikir dalam hatinya, sambil memunguti bunga-bunga harum yang beraneka warna. “Pastilah yang datang mandi-mandi disini bukan bangsa manusia, melainkan bangsa bidadari, sebab mereka bisa terbang tinggi dan jauh hingga menghilang di angkasa”. Sesudah puas memeriksa bulak, nenek tua itupun segera meninggalkan tempat itu, dan tiada lupa membawa segenggam bunga harum warna-warni yang diambil dari bulak.

Bunga-bunga itu kemudian disimpan di talangnya, dan ternyata bunga-bunga itulah yang menimbulkan bau wewangian yang semerbak hingga tujuh hari lamanya. Sejak saat itulah nenek tua itu mengetahui bahwa disekitar talangnya ada sebuah bulak, tempat mandi-mandi alam yang amat indah pemandangannya. Mata airnya jernih, udaranya pun amat sejuk dan nyaman. Itulah awal pengalaman yang menakjubkan bagi nenek tua yang tinggal sendirian di talangnya. Kejadian itupun berulang terus-menerus setiap bulan purnama tanggal empat belas tengah malam. Oleh sebab itu nenek tua itupun lama-lama menjadi terbiasa, dan tiada menghiraukan lagi. Sebenarnya pula, ketujuh bidadari itupun sudah merasa curiga kalau ada bangsa manusia yang telah mengetahui kedatangannya di tempat itu.

Ketujuh bidadari itu mulai curiga, karena setiap hendak mandi lagi, ada beberapa bunga yang hilang, bahkan tempat itu selalu bersih. Maka tiap kali mereka hendak turun mandi ke bulak itu, selalu membawa bunga warna-warni dari kayangan yang harumnya amat luar biasa. Akhirnya ketujuh bidadari itu mengetahui bahwa yang sering melihatnya dan mengambil bunga-bunganya, serta membersihkan tempat itu adalah seorang nenek tua. Oleh karena si nenek tua itu dianggap tidak mengganggunya, maka para bidadari itupun tiada terlalu merisaukannya.

Bujang Mengkurung dan Nenek Tua


Kisah selanjutnya, disebuah dusun yang agak jauh dari talang nenek tua, hiduplah sepasang suami-istri yang sudah cukup tua dengan seorang anak bujangnya. Oleh karena keduanya sudah tua, maka sibujang itulah yang tiap harinya mencarikan makanan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hampir tiap hari si bujang keluar masuk hutan berburu binatang, mengambil ubi-ubian, memancing ikan, serta mengambil kayu bakar. Pendek cerita si bujang itulah yang menjadi tumpuan harapan bagi orang tuanya. Oleh karena itu, si bujang itu lebih dikenal dengan nama Bujang Mengkurung.

Pada suatu hari pergilah Bujang Mengkurung itu masuk ke hutan hendak berburu binatang. Untung tak dapat diraih, malang pun tak dapat ditolak. Hari sudah menjelang senja, tetapi Bujang Mengkurung belum juga mendapatkan hasil buruannya. Biasanya sebelum matahari condong ke barat, Bujang Mengkurung sudah pulang ke rumah dengan membawa hasil buruannya. Padahal, bekal makanan dan minum yang ia bawa itu sudah habis. “Sudahlah kepalang basah, lebih baik tak pulang ke rumah daripada belum menghasil buah,” guman Bujang Mengkurung.

Si Bujang Mengkurung itupun berjalan terus dengan gontainya hingga sudah tidak tahu lagi arah rimbanya. Maka iapun tersesat di tengah belantara. Namun keberuntungan masih berpihak pada Bujang Mengkurung, karena pada saat malam tiba ia menemukan sebuah talang. “Oi, beruntunglah aku ini dapat tempat untuk berteduh,” gumannya lirih sambil menghela napas panjang. Maka, segeralah Bujang Mengkurung mengetuk pintu talang itu. Tak seberapa lama kemudian, muncullah nenek tua itu sambil membawa lampu penerang yang terbuat dari bambu. Setelah dipersilahkan masuk, Bujang Mengkurung itupun memperkenalkan diri, lalu menceritakan asal-usulnya hingga ia tersesat di talang nenek tua itu. Mendengar ceritera Bujang Mengkurung itu, nenek tua menjadi iba dan penuh haru. Maka dengan rasa tulus nenek tua itu memberi makanan serta minuman kepada Bujang Mengkurung.

Nenek Tua Buka Rahasia

Sungguhlah beruntung bagi Bujang Mengkurung, karena nenek tua itu telah memperlakukannya dengan ramah dan penuh kasih sayang. Bahkan Bujang Mengkurung telah dianggabnya sebagai cucunya sendiri. Maka merekapun saling berceritera tentang pengalaman hidupnya masing-masing. Malam terus berjalan sesuai dengan kodratnya hingga menjelang larut. Tiadalah mungkin Bujang Mengkurung itu pulang ke rumahnya. Nenek tua itupun tak tega membiarkan Bujang Mengkurung pulang dilarut malam. Maka Bujang Mengkurung itupun berinap di talang nenek tua itu. Sebenarnya, ketika Bujang Mengkurung itu memasuki talang nenek tua itu, ia telah mencium bau wewangian yang harumnya amat menusuk hidungnya. Oleh karenanya, Bujang Mengkurung tak dapat tidur dengan lelap. Bahkan sebentar-sebentar terjaga dari tidurnya karena semerbak bau wewangian yang luar biasa harumnya. Setelah mengamati sekitarnya, secara samar-samar, ia menatap tumpukan bunga-bunga yang beraneka warna. “Barangkali bunga-bunga itulah yang mengeluarkan bau yang amat harum,” pikirnya dalam hati. Tetapi Bujang Mengkurung tidak berani menanyakan hal itu kepada nenek tua, karena malam telah berlarut.

Pada keesokan harinya, sebelum mohon diri, Bujang Mengkurung memberanikan diri menanyakan tentang bau harum serta hubungannya dengan bunga-bunga yang menumpuk dalam talang nenek tua itu. Mulanya, nenek tua itu agak enggan berceritera. Tetapi, setelah menatap Bujang Mengkurung yang penuh menghiba itu, maka diceritakanlah hal ikhwal tentang rahasia tumpukan bunga itu. Bujang Mengkurung sangat tertarik sekali dengan ceritera nenek tua itu. Lebih-lebih ceritera tentang tujuh bidadari yang sering mandi di bulak pada tengah malam setiap bulan purnama yang keempat belas. Maka ia sangat berharap untuk dapat melihat ketujuh bidadari yang sering mandi itu. Bujang Mengkurung lalu mohon pamit, dan berjanji kelak akan datang lagi ke talang nenek tua jika hendak menjelang bulan purnama yang keempat belas.

Larangan Turun ke Bumi

Dikisahkan selanjutnya, di kayangan tempat tinggal bangsa dewa dan bidadari, sedang mengadakan persidangan istimewa. Oleh karena itu yang hadir dalam persidangan istimewa hanyalah para pucuk pimpinanan dewa saja. Adapun yang sedang dibahas adalah firasat datangnya hari buruk yang akan menimpa kehidupan di kayangan. Pada akhirnya, dalam persidangan itupun telah dicapai kata sepakat, bahwa demi keselamatan kehidupan di kayangan, maka untuk sementara waktu penghuni kayangan tidak diperkenankan turun ke bumi. Jikalau ada dewa atau bidadari yang melanggar larangan tersebut, maka akan menanggung sendiri akibatnya. Setelah mendengar keputusan para pucuk pimpinan dewa, maka gundah gulanalah rasa hati para bidadari itu. Terlebih-lebih ketujuh bidadari yang selalu turun ke bumi tiap bulan purnama tanggal keempat belas. Ketujuh bidadari itu kakak beradik. Adapun nama ketujuh bidadari itu masing-masing ialah:

* Nawang Sasi,
* Nawang Sari,
* Nawang Lintang,
* Nawang Dadar,
* Nawang Langit,
* Nawang Terang, serta si bungsu
* Nawang Wulan.

Ketujuh bidadari kakak beradik itu amatlah sedih, karena tiada lama lagi bulan purnama tanggal keempat belas akan segera tiba. Dengan adanya larangan tersebut, maka mereka tidak dapat lagi turun ke bumi untuk mandi-mandi dan bersukacita. Diantara tujuh bersaudara, yang paling sedih dan gundah gulana adalah Putri Lalan (panggilan akrab Nawang Wulan). Sebagai putri bungsu, Lalan memang sangat dimanja baik oleh kedua orang tuanya, maupun oleh kakak-kakaknya. Apa saja yang dikehendaki oleh si bungsu Putri Lalan itu, selalu dituruti oleh kedua orang tuanya. Akan tetapi kali ini rupanya Putri Lalan amat sungguh kecewa. Sehari-hari kerjanya Putri Lalan hanyalah murung saja. Makan tiada hendak, diajak bermain pun menolak. Padahal keenam kakaknya itu sudah berusaha untuk menghibur dan membujuknya agar Putri Lalan mau makan serta tidak bermuram durja. Akan tetapi, Putri Lalan masih tetap menolak bujuk rayu dari keenam kakaknya.

Melanggar Larangan Dewa

Jikalau hati sudah terpikat, hasrat sudah menguat, beban hatipun terasa berat untuk meninggalkan hajat. Begitulah kiranya perasaan hati Lalan yang semakin menderita. Badannya pun semakin kurus, raut wajahnya yang dulu ceria pun kini terus memucat. Melihat si bungsu Lalan yang kian menderita, maka keenam kakaknya itupun mengadakan mufakat untuk menuruti apa yang menjadi kehendak adiknya itu. Maka segeralah keenam kakaknya itu mendekati Lalan. "Duhai dindaku Lalan nan tercinta, sungguh nian keenam kakak ini tiada tega menatap dinda yang tiada berhenti menderita. Jikalau dinda terus bersedih, tentu kami berenam pun larut dalam kepedihan. Katakanlah dindaku, apa yang sesungguhnya dindaku kehendaki, maka pastilah kandamu berenam akan mendukungmu,” ujar Nawang Sasi yang mewakili saudara-saudara itu.

Mendengar ketulusan perkataan dari kandanya itu, maka berkatalah si bungsu Putri Lalan dihadapan keenam kakaknya; “Ya ayunda berenam nan baik budi, jikalau sungguh ayunda berenam hendak menuruti hasrat dinda, marilah kita bertujuh turun ke bumi. Sebab, dinda sungguh tiada bergairah hidup lagi, bilamana keinginan dinda ini tiada terpenuhi”. Setelah saling bertatapan dengan penuh keharuan, keenam kakak-beradik itupun segera memeluk erat-erat si bungsu Putri Lalan secara bergantian. Ketujuh bidadari nan cantik jelita itupun bersepakat, seia sekata dan bertekad akan turun kebumi. Apapun akibat pelanggaran dari larangan para dewa itu, akan dihadapi bersama baik dalam duka nestapa maupun sukacita, dalam derita ataupun bahagia.

Turun ke Bumi


Hari berganti hari, waktu terus berlalu. Tak terasa bulan purnama tanggal empat belas pun menjelang tiba. Saat itulah yang ditunggu-tunggu oleh ketujuh bidadari itu untuk menuruti hasratnya. Perbekalan telah dipersiapkan, bunga-bunga kayangan pun tiada ketinggalan. Pertanda perjalanan menuju ke bumi hendak dimulai. Setelah segala sesuatunya telah siap, maka ketujuh bidadari itupun segera turun ke bumi. Mereka bertujuh telah meninggalkan kayangan, melupakan pesan, serta melanggar larangan, demi mencapai tujuan, menuruti keinginan si bungsu Putri Lalan. Tak seberapa lama kemudian, sampailah mereka ditempat tujuan. Bulak, tempat mandi-mandi dan bersukacita sudah dipelupuk mata. Hasrat dan kerinduan pun segera terlaksana. Ketujuh bidadari kakak-beradik itupun segera melepaskan pakaian terbangnya satu persatu. Sebagaimana biasanya, Putri Lalan lah yang melepas pakaian terbangnya terlebih dahulu, lalu ditumpuki oleh pakaian kakak-kakaknya. Oleh karenanya pakaian Putri Lalan itu selalu berada paling bawah. Dengan demikian Putri Lalan lah yang paling duluan mandinya, dan selesainya pun paling belakangan. Mereka kemudian bersenang-senang menikmati mata air nan jernih, udara nan sejuk, serta pemandangan alam yang indah. Bunga-bunga kayangan pun bertaburan di sekitar pemandian, serta menyerbakkan bau wewangian yang harumnya sangat luar biasa.

Pakaian Terbang Putri Lalan Hilang

Jernih nian mata air rimba pegunungan, hawanya sejuk lagi nyaman. Siapapun gerangan yang datang, pastilah pantang untuk melupakan. Begitulah kiranya perasaan ketujuh bidadari yang sudah sering mandi di bumi. Terlebih si bungsu Putri Lalan yang sudah dimabuk kepayang, merindukan mata air rimba pegunungan. Biasanya ketujuh bidadari nan cantik itu tiadalah berlama-lama mandinya. Tetapi, entah mengapa kali ini mereka begitu lama bersenang-senang, hingga tiada ingat lagi waktunya untuk terbang kembali ke kayangan. Dan biasanya pula, si bungsu Putri Lalan lah yang memberi isyarat untuk segera terbang kembali ke kayangan. Malam semakin melarut hingga hampir fajar, ketujuh bidadari itupun menyadari akan waktunya. Tanpa menunggu isyarat dari si bungsu Putri Lalan, lalu bergegaslah mereka mengambil pakaian terbangnya. Oleh karena tumpukan pakaian Putri Lalan itu berada paling bawah, maka Putri Lalan lah yang paling belakangan mengambilnya. Namun betapa terkejutnya si bungsu Putri Lalan, ketika melihat pakaian terbangnya sudah tidak tampak lagi. Pakaian si bungsu Putri Lalan telah hilang, sementara kakak-kakaknya sudah berpakaian terbang semua. Dilihatnya si bungsu Putri Lalan kebingungan mencari pakaian terbangnya, maka keenam kakaknya itupun segera ikut mencarinya. Setelah dicari kesana-kemari tiada hasilnya, maka menangislah ia tersedu-sedu. Keenam kakaknya pun turut meratapi nasib adiknya yang amat dicintai itu.

Perpisahan yang Mengharukan

Malang nian nasib si bungsu Lalan itu, karena telah kehilangan pakaian terbangnya. Isak tangisnya pun semakin menjadi-jadi. Sementara batas waktu kian mengejarnya karena fajar sudah hampir tiba. Sungguh, bagaikan buah simalakama, meninggalkan si bungsu Putri Lalan sendirian tiadalah sampai hati, Bertahan di bumi lama-lama pun tiadalah mungkin. Akan tetapi, merekapun harus memilihnya. Setelah termenung agak lama, lalu berkatalah dengan lirihnya si bungsu Putri Lalan itu kepada keenam kakaknya; “Duhai kanda-kandaku tercinta, memang sudah suratan nasib dinda, tiadalah bijak kandaku berlama-lama, karena ayah-bunda pastilah kecewa. Biarlah dinda menanggung akibatnya, jikalau kelak telah tertebus dosa, niscaya kita dapat bersama lagi.” Mendengar perkataan si Bungsu Putri Lalan yang amat mengharukan itu, menjawablah salah seorang dari keenam kakaknya. “Ya adindaku yang amat kusayang, tiadalah tega ayunda meninggalkanmu seorang. Andaikan ku dapat meminjamkan baju terbang, tentulah nasibmu tiada malang.” Merekapun saling berpelukan erat disertai tetesan air mata yang terus mengalir dengan derasnya. Tak seberapa lama kemudian, dengan hati yang pilu, keenam kakaknya itu pun lalu terbang meninggalkan Putri Lalan sendirian di tengah rimba belantara.

Si Pencuri Pakaian Terbang

Siapa sebenarnya yang mencuri pakaian terbangnya Putri Lalan (panggilan akrab Nawang Wulan). Pencurinya tiada lain adalah si Bujang Mengkurung. Rupanya, si Bujang Mengkurung itu sudah lama menunggunya, dan bersembunyi dibalik semak-semak. Setelah diberitahu oleh Nenek Tua, tentang tempat pemandiannya para bidadari, maka timbullah hasrat hati si Bujang Mengkurung untuk melihatnya. Sejak pulang dari rumah nenek tua itulah ia menjadi seorang yang pemalas. Ia pun mulai jarang membantu kedua orang tuanya untuk menanam padi-padian, mencarikan ubi-ubian, berburu binatang, maupun memancing ikan. Kedua orang tuanya menjadi terkejut melihat perubahan perangai anak tunggalnya itu. Kerjanya hanya menghitung hari dan bulan. Rupanya yang dipikirkan adalah menunggu datangnya bulan purnama. Maka. Berbulan-bulanlah ia memikirkannya. Bahkan ia sering termenung seorang diri di atas bebatuan. Pada suatu ketika didekatilah si Bujang Mengkurung oleh kedua orang tuanya, kemudian bertanya; “Hai Jang, apakah gerangan yang dipikirkan, berharian di atas batuan, bermenung tanpa kawan. Kerja tak hendak, makan tak enak, tidur pun tak nyenyak”. Maka menjawablah si Bujang Mengkurung; “Memang benar apa kata Ayah bunda, maafkan beta lupa bekerja, karena menunggu bulan purnama. Jikalau purnama menjelang tiba, izinkan lah beta ke talang nenek tua”. Setelah mendengar jawaban dari anaknya, Ayah Bundanya pun menjadi maklum adanya. Hari kian berlari, bulan pun silih berganti.

Tak seberapa lama, tibalah saat yang dinanti-nanti. Tatkala bulan purnama hendak menjelang, Si Bujang Mengkurung pun berhati riang. Maka berpamitanlah kepada kedua orang tuanya untuk pergi berkelana. Tak lama kemudian sampailah si Bujang Mengkurung di talang nenek tua itu. Oleh karena bulan purnama tanggal empat belas semalam lagi, maka Bujang Mengkurung itupun bermalam disana. Dan keesokan harinya, Bujang Mengkurung lalu ditunjukkan oleh nenek tua, tempat pemandian ketujuh bidadari itu. Tepat tengah hari, sampailah mereka ke tempat tujuan. Setelah mengantar Bujang Mengkurung, nenek tua itupun segera kembali ke talangnya. Bujang Kesian kemudian mencari tempat untuk persembunyiannya. Waktu terus berputar, malampun sudah menjalar. Dari balik semak belukar, sepasang mata terus mengincar. Perasaan mulai gusar, denyut jantung pun kian berdebar. Tiba-tiba muncul bola-bola sinar kian berpijar kian berbinar. Bagaikan sinarnya halilintar, seolah membakar alam sekitar. Badan kekarpun jadi gemetar, menatap sinar dari semak belukar. Tetapi dengan hati yang sabar, Bujang Mengkurung pun tak beranjak keluar. Dibalik kemilaunya sinar cahaya, segeralah tampak wajah-wajah elok nan juwita. “Oi, rupanya ini yang namanya bidadri, indah nian mata memandangnya. Wuah, mereka sedang melucuti pakaiannya. Aduhai elok nian tubuhnya. Sungguh beruntung sekali jikalau dapat salah satu diantaranya. Tetapi bagaimana caranya? Barangkali aku harus mencuri pakaiannya,” gumannya dalam hati si Bujang Mengkurung dengan kedua matanya yang terus menatap.

Setelah berpikir sejenak , mulailah si Bujang Mengkurung itu merayap perlahan-lahan mendekati tumpukan pakaian ketujuh bidadari itu. Disaat ketujuh bidadari itu sedang terlena, si Bujang Mengkurung lalu mengambil salah satu pakaian yang paling bawah sendiri. Dan ternyata, yang diambil itu adalah pakaian bidadari Nawang Wulan (Putri Lalan). Setelah berhasil mengambilnya, lalu dimasukkan dalam bungkusan miliknya. Si Bujang Mengkurung pun segera menjauhi tempat pemandian bidadari itu, sambil memikirkan rencana selanjutnya.

Putri Lalan dan Bujang Mengkurung

Semenjak ditinggal terbang oleh kakak-kakaknya, Putri Lalan menjadi sebatang kara. Untuk menutupi tubuhnya yang hampir telanjang, dikumpulkannya kulit-kulit pohon yang lebar-lebar, serta tangkai-tangkai yang daunnya rimbun. Dengan hati yang pasrah Putri Lalan terus berjalan tanpa tahu arah dan tujuan. Belum seberapa lama berjalan, kaki Lalan sudah terasa kecapaian. Maklum, bidadari seperti Putri Lalan memang belum pernah berjalan sampai sejauh itu. Setelah melepas kecapaian, Putri Lalan terus melanjutkan perjalanannya, dan tak seberapa lama kemudian, sampailah ia di rawa-rawa.

Rupanya si Bujang Mengkurung sudah ada di tempat itu dengan santainya mengail ikan. Tanpa ragu-ragu, Putri Lalan pun segera mendekatinya, lalu bertanya; “Wahai tuan, sedang apakah gerangan yang tuan lakukan disini?” Dengan acuh tak acuhnya si Bujang Mengkurung itu menjawabnya; “Hamba sedang mengail ikan”. Lalan kemudian melanjutkan pertanyaannya; “Adakah tuan melihat pakaian terbang hamba?” Si Bujang Mengkurung itupun hanya menggelengkan kepala. Oleh karena diliriknya Putri Lalan tiada berpakaian layak, maka disodorkannya sehelai kain. Putri Lalan pun segera menyambutnya dengan sukacita, seraya berkata; “Duhai tuan yang baik hati, tuan sudi memberikan kain ini kepada hamba. Sudah barang tentu hamba telah berhutang budi, dan rasanya hamba ingin sekali balasnya, tetapi tiada suatu apapun yang hamba miliki.” Mengkurung pun segera menyahutnya; “Ya tuan putri nan juwita sekali, tiadalah hamba menghutangkan budi. Tetapi kalau hendak balas memberi, berikanlah hamba sebuah cinta yang tulus hati. Putri Lalan semula tiada menyangka arah perkataan Si Bujang Mengkurung. Setelah berpikir sejenak, Putri Lalan baru menyadari bahwa dirinya tidak punya pilihan lain, kecuali menyerahkan cintanya. Dan akhirnya Putri Lalan bersedia memberikan cintanya kepada Si Bujang Mengkurung itu.

Namun demikian, Putri Lalan mempunyai persyaratan yang harus dipenuhi oleh Si Bujang Mengkurung. Adapun syaratnya tidak terlalu berat. Pertama, jangan sekali-kali menyakiti hati Putri Lalan. Kedua, antara sepasang suami- isteri jangan menyimpan rahasia dan tak boleh membohongi. Mendengar persyaratan yang diajukan oleh Putri Lalan itu, Si Bujang Mengkurung pun menyanggupinya. Si Bujang Mengkurung berjanji tidak akan menyakiti hati Putri Lalan, dan juga tidak akan membohonginya. Setelah saling berjanji, keduanya lalu saling bertatapan, dan segera berpelukan erat. Sejak saat itulah mereka saling menyayangi, mengasihi, dan mencintai.

Bujang Mengkurung pun segera mengajaknya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah Si Bujang Mengkurung, maka Putri Lalan segera memperkenalkan diri serta asal-usulnya. Mendengar penuturan Putri Lalan, maka kedua orang tua Si Bujang Mengkurung itupun menyambutnya dengan penuh kekaguman. “Sungguh beruntung sekali Bujang kita ini, pulang ke rumah membawa seorang bidadari,” bisik ayah Si Bujang Mengkurung kepada bininya. Ibu Si Bujang itupun balas membisik; “Ya, sebentar lagi kita akan punya menantu bidadari nan cantik jelita.” Rupanya kedua orang tua Si Bujang Mengkurung telah sepakat untuk menikahkan anaknya. Tak lama kemudian, datanglah hari yang baik, maka Si Bujang Mengkurung dan Lalan segera dinikahkan. Oleh karena mereka hidup disebuah dusun yang terpencil, dan masih jarang penduduknya, maka upacara pernikahannya dilakukan dengan cara yang amat sederhana.

Putri Lalan pun akhirnya menjadi istri Si Bujang Mengkurung. Sebagai seorang istri, Putri Lalan selalu menunjukkan kesetiaannya kepada sang suami. Bahkan Putri Lalan terkesan amat rajin mengerjakan segala macam pekerjaan rumah. Kerjanya antara lain, membersihkan rumah, menyapu halaman, mencuci, dan memasak. Semua pekerjaan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan rasa tulus. Melihat Putri Lalan yang tiap hari rajin membersihkan rumah, maka Si Bujang Mengkurung pun menjadi was-was. Takut kalau-kalau pakaian terbang yang disembunyikannya di kuda-kuda (langit-langit) di atap rumahnya itu diketemukan oleh istrinya. Oleh karena itu setiap Bujang Mengkurung hendak pergi ke ladang, selalu berpesan agar jangan membersihkan langit-langit atap rumah. Putri Lalan pun selalu menurut apa yang dipesankan oleh suaminya tanpa rasa curiga sedikitpun.

Waktu terus saja berlalu, bulan pun semakin cepat berjalan. Tak disadari jalinan cinta mereka telah membuahkan hasil. Ternyata perut Putri Lalan telah menunjukkan tanda-tanda kahamilan. Dilihatnya perut Putri Lalan telah mengandung, maka giranglah hati Si Bujang Mengkurung. Demikian pula ayah-bundanya. Setelah berjalan sembilan bulan sepuluh hari, maka lahirlah seorang anak laki-laki yang mungil. Suami-istri serta kedua orang tua Si Bujang Mengkurung segera menyambutnya dengan sukacita. Setelah dimandikan dan di bersihkan, bayi laki-laki yang mungil dan lucu itupun segera disusuinya, serta dibelainya dengan penuh kasih sayang. Si Bujang Mengkurung dan kedua orang tuanya pun juga sering menimang-nimang serta membuainya secara bergantian.

Rahasia Terbongkar

Semenjak Lalan menjadi seorang ibu, pekerjaan Putri Lalan semakin bertambah banyak. Selain memasak, mencuci pakaian, melayani suami, dan membersihkan rumah serta pekarangan, juga masih merawat, mengurus, dan membesarkan anak. Namun demikian, tiada menjadikan Putri Lalan sebagai seorang ibu yang malas, bahkan Putri Lalan semakin rajin kerjanya. Akan tetapi setiap akan membersihkan langit-langit rumah, selalu dilarang oleh Mengkurung. Padahal langit-lagit rumah itu semakin kotor, karena tidak pernah dibersihkan. Lama-kelamaan perasaan Putri Lalan menjadi semakin tidak enak, bahkan kian bertambah curiga kepada suaminya. Ia pun sering bertanya-tanya dalam hati. Adakah gerangan yang disembunyikan, jangan-jangan ada sesuatu hal yang dirahasiakan oleh suamiku. Bukankah suamiku pernah berjanji untuk tidak menyakitiku? Pikirnya dalam hati.

Sepandai-pandainya tupai melompat, pada akhirnya akan jatuh jua. Serapat-rapatnya rahasia tentang kejahatan, suatu ketika akan terbongkar juga dengan sendirinya. Pada suatu hari, tatkala Si Bujang Mengkurung sedang ada di ladang, tiba-tiba timbul niat untuk membersihkan langi-langit rumah yang amat kotor itu. Maka, segeralah Putri Lalan mengambil tangga untuk naik ke langit-langit rumah. Setelah tangga itu dipasang, lalu naiklah ia sambil membawa sapu lidi. Beberapa saat kemudian sampailah Putri Lalan di atap rumah. Maka mulailah ia membersikan seluruh debu dan kotoran yang menempel di langit-langit rumah itu. Ketika Putri Lalan sedang menyapu di bagian kuda-kuda (kaki penyangga langit-langit rumah) terlihatlah olehnya seberkas bola sinar yang berpijar amat terang. Putri Lalan terkejut sekali, bahkan hampir saja terjatuh. Setelah didekati dan diperiksa dengan penuh hati-hati, ternyata hanyalah sepotong bambu besar yang panjangnya sekitar satu lengan. Tetapi bambu itu sangat aneh karena memancarkan sinar yang amat terang. Oleh karena rasa penasaran ingin tahu isinya, maka bambu itupun segera dibukanya. Betapa terkesimanya Putri Lalan, karena isinya ternyata sehelai pakaian terbangnya yang telah hilang tak tertentu rimbanya. Seketika raut wajahnya yang semula agak pucat itu telah berubah menjadi ceria. Pakaian terbangnya itu segera dipegangnya erat-erat, lalu segera dibawanya turun. Kemudian bergegas ia menyembunyikan pakaian terbangnya itu. “Tiada sangka aku bisa menemukan pakaian terbangku kembali. Inilah rupanya rahasia yang disimpan oleh suamiku,” gumannya dalam batin. Tak lama kemudian pulanglah Si Bujang Mengkurung dari ladangnya. Seperti biasanya, Putri Lalan pun segera menyiapkan makanan untuknya. Hal itu sengaja dilakukan agar suaminya tiada menaruh curiga kepadanya. Pada saat itulah Putri Lalan sengaja mencoba mengutarakan keinginannya lagi untuk membersihkan langit-langit rumah. Tetapi Bujang Mengkurung masih tetap melarangnya.

Ketika Putri Lalan menanyakan sebab musababnya, tiba-tiba Bujang Mengkurung sangat marah dan membentaknya keras-keras. Putri Lalan yang belum pernah diperlakukan kasar seperti itu, lalu menangis tersedu-sedu, seraya berucap ; “Mengapa kanda tega membentak dinda yang selalu setia, bukankah kanda pernah berjanji takkan menyakiti hati dinda”? Bujang Mengkurung pun membalasnya; “Jikalau dinda tiada memulai, tentu kandapun tiada memarahi. Maka kanda ingatkan, jangan lagi dinda menanyakan apa yang aku larangkan. Mendapat jawaban yang tak diharapkan itu, hati Lalan semakin remuk redam. Namun demikian Putri Lalan masih merahasiakan hasil temuannya. Putri Lalan hanya ingin menguji sampai dimana ketulusan dan kejujuran suaminya itu. Oleh karena dinilainya sudah tidak jujur dan tulus lagi, maka Putri Lalan berniat akan meninggalkannya.

Sejak kejadian itulah tiba-tiba Putri Lalan jadi rindu kepada Ayah Bundanya, serta kakak-kakaknya di kayangan. “Barangkali memang sudah tertebus dosa-dosa hamba, maka sudah saatnya pula hamba harus kembali ke kayangan,” tekadnya dalam hati. Pada keesokan harinya, setelah Bujang Mengkurung pergi berladang, Putri Lalan pun mempersiapkan diri, hendak meninggalkan sang suami. Baju terbangnya telah disandang, anaknya pun digendong belakang. Maka segeralah ia menemui Si Bujang Mengkurung yang sedang berladang. Bujang Mengkurung pun terkejut melihat Putri Lalan datang dengan memakai baju terbangnya sambil menggendong anaknya. Belum sempat Bujang Mengkurung bertanya, Putri Lalan pun telah mendahului berkata; “Wahai Kanda tersayang, kini tibalah saatnya perpisahan. Dinda bersama anakanda hendak kembali ke kayangan, meninggalkan kanda seorang. Jikalau Kanda kelak rindu nian, pandanglah saja dari kejauhan, karena dinda berdua dalam rembulan.” Putri Lalan pun segera terbang pelan-pelan, meninggalkan Bujang Mengkurung.

Setelah dilihatnya Putri Lalan terbang bersama anaknya, maka menjeritlah keras-keras Si Bujang Mengkurung: “Lalaaan beleeek! Lalaaan beleeek! Lalaaan beleeek! ( belek artinya kembali).

Kembali ke Kayangan


Ceriteranya, tatkala keenam kakak-kakak Putri Lalan itu sampai di kayangan, maka segeralah mereka berenam menghadap Ayah Bundanya. Apapun yang akan menimpanya, mereka sudah pasrah dan siap menerima hukuman. Keenam kakak beradik itu telah memaklumi, bahwa kasih sayang Ayah Bundanya terhadap si bungsu Putri Lalan amatlah sangat mendalam. Oleh karenanya, merekapun tentunya mendapat marah dan hukuman yang berat. Benarlah apa yang telah mereka ramalkan berenam. Setelah mendengar cerita keenam anaknya, dan tidak melihat Putri Lalan di hadapannya, maka terkejutlah Ayah Bundanya. Bahkan karena amat sayangnya, Bundanya pun terus jatuh pingsan tak sadarkan diri. Sedangkan Ayahandanya meluapkan amarahnya kepada mereka berenam. Kemudian mereka berenam tidak diperbolehkan masuk rumah, hingga adiknya Putri Lalan kembali lagi ke kayangan.

Maka sejak itulah, keenam kakak beradik pun hidupnya terlantar. Kerjanya tiap hari hanya termenung sambil berdendang pilu, meratapi si bungsu Putri Lalan yang amat dicintainya. “Oi, Putri Lalan belek ne asoak, tumitne awea teno desoak”, begitulah dendang pilunya keenam kakak Putri Lalan. Mereka sangat menyesal karena telah menuruti keinginan adiknya yang ternyata berakibat sangat fatal. Apa gunanya penyesalan, jikalau sudah kejadian. Padahal para dewa telah membuat larangan, itulah akibat dari pelanggaran. Setelah sekian tahun lamanya, tiba-tiba Putri Lalan muncul dihadapan kakaknya. Mereka terperanjat melihat si bungsu Putri Lalan kembali dengan menggendong anak di belakangnya. Oleh karena sudah menanggung rindu yang amat mendalam, maka merekapun segera menyambutnya dengan sukacita, serta saling berebut duluan untuk memeluk putri Lalan erat-erat. Keenam kakaknya itu kemudian berlari menghadap Ayah Bundanya, seraya berteriak dengan kerasnya; “nek inok! Putri Lalan belek! Putri Lalan belek, nek inok! Putri Lalan belek! Putri Lalan belek! (Ayah- Bunda! Putri Lalan pulang ! Putri Lalan pulang ! nek inok! Putri Lalan pulang ! Putri Lalan pulang !). Setelah melihat kembali si bungsu Putri Lalan yang telah lama menghilang, maka kedua Ayah Bundanya pun menyambutnya dengan girang bercampur haru.

Kisah Putri Gading Cempaka


Tersebutlah dalam sebuah kisah, pada mulanya yang memerintah di negeri Sungai Serut ini ialah seorang raja yang berasal dari Majapahit, namanya Ratu Agung. Sebagai cikal-bakal dari kerajaan Sungai Serut, konon ceritanya, Ratu Agung adalah jelmaan bangsa dewa dari Gunung Bungkuk yang mendapat tugas untuk mengatur bangsa manusia di bumi. Adapun rakyat yang diperintahkan oleh Ratu Agung ialah rakyat Rejang Sawah. Rakyatnya berperawakan tinggi, tegap, dan besar melebihi ukuran manusia pada umumnya. Disamping itu, dibagian tulang sulbinya agak sedikit menonjol yang panjangnya sekitar satu jari. Oleh sebab itulah, rakyat Ratu Agung ini juga disebut oleh orang sebagai Rejang Berekor.

Sebagai jelmaan dewa dari Gunung Bungkuk, Ratu Agung tidak saja mampu memerintah dengan adil, bijak, dan penuh wibawa, tetapi juga telah berhasil membangun negeri Sungai Serut hingga menjadi negeri yang kaya dan makmur. Sebuah istana yang sangat megah juga telah didirikan di mudik kuala Sungai Serut. Di singgasana yang amat megah inilah yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan juga tempat kediaman sang Ratu Agung bersama kerabat kerajaan dan ketujuh putra-putrinya, yang terdiri atas enam laki-laki dan seorang perempuan. Anak yang pertama bernama Kelamba Api, yang juga dikenal dengan nama Raden Cili. Yang kedua bernama Manuk Mincur, dan yang ketiga bernama Lemang Batu. Yang keempat bernama Tajuk Rompong, yang kelima bernama Rindang Papan, yang keenam bernama Anak Dalam, dan yang ketujuh atau bungsu bernama Putri Gading Cempaka.

Si Bungsu nan Jelita.

Selanjutnya dikisahkan, bahwa negeri Sungai Serut kian lama kian Masyhur. Bahkan nama negeri Sungai Serut pun semakin harum di negeri-negeri atau kerajaan-kerajaan manca lainnya. Terlebih lagi, keharuman nama negeri Sungai Serut ini disebabkan oleh putri bungsu yang bernama Putri Gading Cempaka yang kian hari kian tumbuh dan berkembang menjadi seorang remaja putri nan cantik jelita. Meskipun belum menginjak usia dewasa, tetapi keelokan paras Putri Gading Cempaka ini sudah terlihat dengan jelas pada usia yang masih remaja. Kecantikannya sungguh tiada taranya, bagai bidadari yang turun dari kayangan. Karena kecantikannya yang sungguh tiada bandingnya, maka banyak putra dari kaum bangsawan yang berniat untuk mempersunting sebagai pemdamping hidupnya. Akan tetapi karena saat itu si bungsu masih belum menginjak usia dewasa, maka semua pinangan yang datang menghadap Ratu Agung pun selalu ditolaknya dengan cara yang bijaksana.

Wasiat Sang Raja

Bulan telah berjalan silih berganti, tahun pun terus berlari, dan juga usia manusia semakin berkurang jatahnya. Yang semula masih kanak-kanak, kemudian menjadi remaja, meningkat dewasa dan kemudian menjadi tua. Begitulah hukum alam dari Sang Pencipta yang berlaku bagi makhluk ciptaan-Nya, tanpa kecuali bangsa manusia. Demikian pula dengan sang Ratu Agung yang kian menua usianya. Pada suatu hari, Ratu Agung pun jatuh sakit karena dimakan usia yang memang sudah tua. Kian hari, sakit yang dideritanya pun tiada kunjung sembuh, bahkan kian bertambah parah saja. Sebagai raja jelmaan dari dewa yang telah menjadi manusia, nalurinya masih kuat, bahwa ajalnya tak lama lagi akan tiba. Oleh sebab itu, sebelum ajalnya tiba, sang Ratu Agung nan bijaksana itu segera memanggil ketujuh putra-putrinya. Setelah ketujuh putra–putrinya itu berkumpul sujud di sekeliling ayahandanya, syahdan bersabdalah ayahanda dengan suara pelan penuh wibawa :”Duhai anakandaku semua, kini rasanya ayahanda tiadalah kuasa hidup berlama-lama. Sebelum Ayahanda meregang jasad melepas nyawa meninggalkan dunia nan fana, maka Ayahanda hendak menitipkan dua buah wasiat kerajaan ini kepada anakandaku semua.” Mendengar sabda ayahanda sang Baginda Ratu Agung yang hendak sekarat itu, raut muka dari ketujuh putra-putrinya itu langsung lesu, memucat. Terlebih si bungsu Putri Gading Cempaka yang tak kuasa menahan gejolak emosi dalam batinnya. Dan perlahan-lahan berderailah air matanya mengucur membasahi kedua pipinya, meskipun belum tampak suara rintihan isak tangis yang keluar dari mulut mungilnya. Ayahanda Baginda Ratu Agung pun lalu melanjutkan sabdanya. “Demi menjunjung tinggi rasa keadilan, kedamaian, dan ketentraman di dalam negeri ini, maka Ayahanda berwasiat tahta kerajaan Sungai Serut ini kepada anakandaku Anak Dalam. Namun demikian Ayahanda berpesan hendaknya kalian semua tetap bersatu dalam suka maupun duka, dalam bahagia maupun derita. Adapun wasiat yang kedua adalah, apabila terjadi sesuatu hal yang menimpa negeri Sungai Serut ini, dan negeri ini sudah tidak dapat lagi dipertaruhkan, maka hendaklah kalian semua menyingkir ke Gunung Bungkuk. Di Gunung Bungkuk itulah nanti datang seorang raja yang akan menjadi jodoh anakandaku Putri Gading Cempaka.”

Wasiat tahta Sungai Serut itupun kemudian diterima oleh Anak Dalam tanpa menimbulkan rasa iri hati pada saudara-saudaranya yang lebih tua. Bahkan semua saudara tuanya telah sepakat mendukung kedua wasiat ayahandanya, meskipun diliputi dengan suasana yang amat mengharukan serta menegangkan.

Kabut Duka Sungai Serut

Untung tak dapat diraih, nasib pun tak dapat ditolak. Begitulah kalau ajal manusia hendak sirna kembali ke pangkuan Illahi. Setelah ayahanda Putri Gading Cempaka memberikan wasiat kerajaannya kepada Anak Dalam, maka tak seberapa lama, wafatlah sang Baginda Ratu Agung, pendiri dinasti kerajaan Sungai Serut. Melihat Sang Ayahanda Baginda Ratu Agung membisu membujur kaku, serta menutup mata, maka gemuruhlah isak tangis ketujuh putra-putrinya, yang membuat gempar seisi istana. Maka si bungsu Putri Gading Cempaka pun meratap sejadi-jadinya. Seakan si bungsu nan cantik jelita ini tak rela mengantar kepergian Ayahandanya Baginda Ratu Agung untuk selama-lamanya.

Demikian buah ratapan Putri Gading Cempaka :
“Ya ayahku ratu jujungan, Tajuk mahkota lepas di tangan, Malang sangat anak gerangan, Seumur hidup mabuk kenangan,
Ayuhai ayahku ayuhai paduka ratu, Tempat bergantung anakanda satu, Sekarang anakanda tujuh piatu, Tentu bercinta setiap waktu,
Ya ayahku raja bestari, Anakanda piatu di dalam negeri, Duduk bercinta setiap hari, Pilu dan sedih menyerang diri.
Ya Ayahku yang amat kucinta, Tempat bergantung ayah semata, Sekarang patah sudahlah nyata, Karam dunia pemandangan beta.
Aduhai ayahku aduhai gusti, Meninggalkan anak sampailah hati, Jadi sesalan tiada terhenti, Kenang-kenangku sebelum mati.
Nyata anakmu berhati rindu, Ayah tiada tempat mengadu, Nasi dimakan rasa empedu, Air serasa getah mengkudu.

Isak tangis yang tiada terperi itu meriuhkan seisi istana. Kemudian menggema dan menggetarkan seluruh rakyat di negeri Sungai Serut. Kini seluruh anak negeri telah dirundung kabut duka nestapa yang amat dalam, karena Baginda Ratu Agung nan amat dicintai oleh seluruh rakyatnya telah tiada lagi di dunia. Gegap gempitalah segenap pejabat serta kerabat kerajaan, para sanak famili handai taulan, Bilal, Katib, Kadi, serta hamba kerajaan pun berdatangan serta menghatur sembah dihadapan ketujuh putra-putri kerajaan. Sementara tuan Putri Gading Cempaka terlihat masih meratapi jasad Ayahandanya yang telah terbujur kaku. Maka berkatalah salah seorang hamba kerajaan, “Ampun diperbanyak ampun, tuan Putri hari sudah tinggi, Ayah tuan harus dimandikan. Anak Dalam lalu bertitahlah kepada salah seorang mamandanya: “Mandikanlah dengan segera Mamanda, supaya jasad ayahanda dapat segera kita makamkan.“ Maka segeralah jasad ayahanda Ratu Agung itupun dimandikan melalui upacara dengan penuh khitmad sebagaimana adat istiadat bagi raja-raja yang wafat pada zaman itu.

Anak Dalam Naik Tahta


Beberapa lama telah berlalu, kabut duka nestapa di negeri Sungai Serut perlahan lahan telah tersibak dengan sendirinya. Sang mentari pun telah memancarkan lagi keceriaannya meninggalkan kenangan lama yang teramat kelam. Maka segeralah Anak Dalam dinobatkan menjadi raja di Negeri Sungai Serut, menggantikan kedudukan Ayahanda Baginda Ratu Agung. Sebagai anak yang sangat patuh dan berbakti kepada orang tuanya, maka sebelum menjadi raja di negeri Sungai Serut ini, Anak Dalam selalu teringat dan mematuhi apa yang telah dipesankan oleh almarhum ayahanda Baginda Ratu Agung.

Pesan ayahanda agar tujuh bersaudara tetap bersatu dalam suka maupun duka, bersama dalam derita maupun bahagia itupun selalu dipegang teguh oleh Anak Dalam. Terlebih terhadap si bungsu, adinda Putri Gading Cempaka yang sangat dicintai oleh kakanda Anak Dalam. Wasiat tahta yang telah diwariskan oleh almarhum Baginda Ratu Agung itu kepada Anak Dalam ternyata mampu dilaksanakan dengan sepenuhnya. Oleh sebab itulah raja Anak Dalam memerintah negeri Sungai Serut dengan adil dan bijaksana. Terbukti, bahwa negeri sungai Serut semasa dibawah pimpinan Anak Dalam itupun kemashyurannya tidak kalah pada masa Baginda Ratu Agung. Bahkan semakin terkenal karena si bungsu Putri Gading Cempaka kini telah beranjak dewasa dan banyaklah kaum putra bangsawan dari negeri manca yang ingin sekali meminangnya.

Pangeran Muda Aceh Terpikat

Konon berita tentang keelokan Putri Gading Cempaka yang tiada bandingnya itu telah tersebar di seluruh penjuru wilayah kerajaan manca, tanpa kecuali kerajaan Aceh. Tak pelak lagi, putra mahkota kerajaan Aceh pun sangat terpikat oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Timbulah dalam pikiran Pangeran Muda Aceh hendak pergi ke negeri Sungai Serut untuk meminang Putri Gading Cempaka. Ketika pikiran itu telah mengganggu dalam tidurnya, maka Pangeran Muda Aceh itupun segera memutuskan untuk segera menghadap ayahanda Baginda Sultan, memohon kebawah cerpu baginda hendak berangkat ke negeri Sungai Serut. Tatkala Ayahanda Baginda Sultan melihat dari dekat guratan wajah anakanda Pangeran Muda yang penuh maksud dan asa itu, maka bertitahlah sang baginda : “Hai anakku, biji mata ayahanda, apa sebabnya maka anakanda datang dengan bermuram durja ini ? Adakah seorang dayang telah bersalah dalam melayani anakanda. Dayang dan inang pengasuh yang mana kali yang kurang melayani anakanda?” Maka segeralah Pangeran Muda itu berlutut di hadapan Baginda, seraya bersembah diri. “Ya ayahanda baginda, tiadalah kiranya kekurangan suatu apa pada anakanda, dan tiadalah seorang jua pengiring anakanda yang salah melayani anakanda,” jawab Pangeran Muda. “Kalau demikian adanya, giranglah sangat ayahanda mendengarkan perkataan biji mata ayahanda. Akan tetapi terangkanlah, hai anakku, agar ayahanda mengetahui apakah hajat anakanda datang bersembah dihadapanku ini?” Ketika didesak perkataannya oleh baginda, maka berteranglah Pangeran Muda Aceh itu kepada ayahandanya.

“Ya Baginda ayahanda, adapun anakanda datang kehadapan ayahanda, tiadalah lain hendak memohon restu dari Ayahanda, agar ayahanda memberikan izin kepada anakanda yang hendak pergi berlayar ke negeri Sungai Serut. Untuk meminang Putri Gading Cempaka yang telah menjadi tambatan hati hamba. Selain daripada itu, anakanda juga ingin mengetahui adat lembaga dari negeri lain, agar kelak anakanda dalam menggantikan ayahanda telah banyak menimba pengetahuan tentang segala suatu adat negeri lain.” Setelah mendengar permintaan yang sungguh-sunguh dari Pangeran Muda itu, dengan sukacita Baginda memberikan izin kepadanya. Baginda segera memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan perbekalan dan segera menurunkan perahu yang terkalang dan beberapa perahu lain yang disertai dengan anak-anak muda secukupnya untuk mengiringnya.

Pada keesokan harinya, bersamaan dengan terbitnya sang mentari dari ufuk timur, serta merta diiringi oleh kicauan burung yang terbang bebas menyongsong pagi nan cerah, maka berpamitanlah anak raja Aceh kepada Ayah-bundanya. Pangeran Muda Aceh pun segera berangkat ke negeri Sungai Serut hendak meminang Putri Gading Cempaka, agar kelak dikemudian hari dapat menjadi permaisuri sebagai pendamping Pangeran Muda. Dengan disertai do’a restu dari ayah-bunda, maka Pangeran Raja Muda Aceh bersama segenap hulubalang pengiringnya naik kedalam perahu, dan siaplah berlayar meninggalkan daratan tanah rencong.

Asal Nama Bangkahulu

Setelah sekian lama mengarungi badai ombak lautan yang ganasnya tak terperikan baik disiang hari maupun dimalam hari, maka sampailah kiranya perahu rombongan Pangeran Muda Aceh memasuki perbatasan wilayah negeri Sungai Serut. Ketika perahu-perahu itu hendak memasuki wilayah negeri Serut, kebetulan air laut sedang dalam keadaan naik pasang. Oleh sebab itu, banyak kotoran, reba-reba serta empang-empang yang terbawa arus menghulu. Rombongan perahu Pangeran Raja Muda Aceh itupun terkejut melihat bayaknya empang menghulu yang mengganggu perahu-perahu mereka yang akan menepi. Maka berteriaklah orang-orang Aceh itu “Empang ka hulu! Empang ka hulu!” Pangeran Raja Muda Aceh segera memerintahkan anak buahnya untuk membersihkan empang-empang yang menghalangi perahu-perahunya.

Tampaknya hati Pangeran Raja Muda Aceh itu sangat terkesan melihat pemandangan di wilayah ini, maka Pangeran Raja Muda Aceh itu lalu menitahkan kepada para hulubalangnya agar wilayah ini diberi nama Empangkahulu. Dan sejak saat itulah orang-orang kemudian menyebut negeri Sungai Serut dengan sebutan negeri Bangkahulu. Tatkala perahu rombongan Pangeran Raja Muda Aceh itu sudah sampai di kualanya, maka dibongkarlah sauhnya, dan layar-layarnyapun digulung dan diturunkan. Sebagaimana adat kebiasaanya, maka rombongan Raja Muda Aceh itupun segera membunyikan meriam-meriamnya sebagai tanda pemberitahuan akan kedatangan tamu dari negeri luar.

Perang Besar

Bunyi dentuman meriam itu cukup mengejutkan rakyat negeri Sungai Serut, tidak kecuali Anak Dalam. Maka segeralah Anak Dalam menitahkan anak-buahnya turun ke bawah untuk melihat adakah gerangan yang telah terjadi di negerinya itu. Tak seberapa lama kemudian, datanglah utusan dari anak raja Aceh yang memohon izin hendak menghadap Baginda Anak Dalam. Maka bersembahlah utusan anak raja Aceh itu seraya mengemukakan hajatnya, bahwa maksud kedatangan anak raja Aceh ke negeri Sungai Serut tiada lain adalah hendak meminang Putri Gading Cempaka. Sebagai seorang raja nan adil dan bijaksana, setelah mendengar penuturan dari utusan anak raja Aceh itu, Anak Dalam segera mengadakan mufakat kepada keenam saudara-saudaranya, terlebih kepada si bungsu Putri Gading Cempaka. Sementara itu, para utusan dari negeri Aceh dipersilahkan menunggu di luar istana barang sejenak. Tak seberapa lama, setelah diadakan mufakat diantara ketujuh saudara itu, kemudian disuruhnyalah utusan anak raja Aceh itu masuk menghadap Baginda Anak Dalam.

Kemudian diberitahukan bahwa permohonan anak raja Aceh untuk meminang Putri Gading Cempaka tidak dapat di kabulkan. Pangeran Raja Muda Aceh amat marah mendengar hasil laporan dari para utusanya, bahwa hajatnya hendak meminang Putri Gading Cempaka itu ditolak. Maka segeralah Pangeran Raja Muda Aceh itu memerintahkan para hulubalang dan seluruh anak-buahnya untuk menantang perang Baginda Anak Dalam. Perang besar antara pasukan Baginda Anak Dalam dari negeri Sungai Serut dengan pasukan Pangeran Muda Aceh rupanya tidak dapat dielakkan. Genderang perang telah dibunyikan bertalu-talu oleh kedua belah pihak. Dan perang itupun terus berkobar sampai berhari-hari lamanya. Sudah banyak korban yang sudah berjatuhan, tetapi perang terus berkecamuk tak kunjung selesai. Belum diketahui pihak yang menang maupun yang kalah, tetapi bangkai-bangkai manusia terus bergelipangan dimana-mana hingga menimbulkan bau yang tak sedap. Anak Dalam dan saudara-saudaranya pun semakin tak tahan mencium bau busuk dari bangkai-bangkai manusia yang bertumpuk-tumpuk akibat peperangan.

Teringat akan wasiat almarhum ayahanda Baginda Ratu Agung, maka Anak Dalam bersama keenam saudara-saudaranya segera memutuskan untuk menarik diri dan kemudian menyingkir ke gunung Bungkuk. Sementara itu, Pangeran Raja Muda Aceh bersama laskarnya yang masih hidup segera menarik diri kembali ke negeri Aceh dengan tangan hampa.

Pasirah Empat Petulai

Semenjak Anak Dalam beserta keenam saudaranya meninggalkan Sungai Serut atau Bangkahulu menuju Gunung Bungkuk, negeri ini dalam keadaan kacau. Rakyatnya menjadi tidak menentu lagi karena tidak ada lagi rajanya. Berita tentang keadaan negeri Bangkahulu yang telah ditinggalkan oleh rajanya itu rupanya terdengar di telinga keempat pasirah. Adapun keempat pasirah itu masing-masing adalah : Pasirah Merigi, Pasirah Bermani, Pasirah Salupuh , dan Pasirah Jurukalung. Tidak seberapa lama, setelah mengadakan mufakat maka berangkatlah segera keempat pasirah itu dari Lebong balik bukit menuju negeri Bangkahulu hendak menjadi raja di sana. Beberapa lama kemudian, keempat pasirah itu berhasil menduduki negeri Bangkahulu. Akan tetapi setelah berhasil menguasai negeri Bangkahulu, timbulah perselisihan diantara keempat pasirah itu.

Adapun yang menjadi pokok permasalahan mereka itu adalah mengenai pembagian tanah sebagai wilayah kekuasaanya. Oleh karena itu masing-masing berkehendak untuk mendapatkan bagian tanah yang lebih besar, maka pertikaian pun tidak dapat dihindarkan.

Baginda Maharaja Sakti

Beruntunglah keempat pasirah itu, karena sebelum terjadinya jatuh korban diantara mereka, tiba-tiba munculah seseorang berperawakan tinggi tegap dengan pakaian kebesaranya diiringi oleh empat belas pengiringnya, mendamaikan perselisihan mereka. Keempat pasirah itupun segera menghentikan pertikaian dan menyambut kelimabelas tamunya dengan penuh suka cita . Kemudian salah seorang pemimpin rombongan tamu itu memperkenalkan diri kepada keempat pasirah itu. ”Nama hamba ini adalah Baginda Maharaja Sakti. Adapun nama daripada negeri hamba adalah Sungai Terap di Alam Minangkabau. Empat orang diantara hamba ini adalah bergelar menteri sedangkan sembilan lainnya adalah anak buah hamba, dan seorang lagi adalah panakawan hamba”. Setelah mendengar penuturan dari Baginda Maharaja Sakti itu, Keempat pesirah itu segera menjamu tamu agungnya.

Baginda Maharaja Sakti pun segera melanjutkan ceritanya. ”Adapun pekerjaan hamba berjalan kelana ini karena titah oleh daulat tuanku Sultan Pagar Ruyung, Seri Maharaja Diraja. Hamba mendapat titah untuk melihat-lihat segala isi pulau Perca ini yang telah berada di bawah daulat di Pagar Ruyung.” Setelah mendengar hal ikhwal cerita dari Baginda Maharaja Sakti, maka makin bertambah suka cita keempat pasirah itu. Keempat pasirah itu kemudian bersepakat memohon kepada Baginda Maharaja Sakti supaya menjadi raja dinegeri Bangkahulu. Baginda Maharaja Sakti menjadi girang dan terharu mendegarnya. “Hamba terima permohonan tuan-tuan dengan senang hati. Sungguh permintaan tuan-tuan itu suatu gunung intan bagi hamba. Memang sudah barang semestinya, bahwa tiap-tiap kampung itu tentu ada penghulunya, tiap luhak ada larasnya, tiap-tiap negeri ada rajanya. Sedangkan dinegeri tuan-tuan ini belum lagi berdiri kerajaan. Oleh karenanya, sudah barang sepatutnya bilamana tuan-tuan mencari seorang raja yang asli yang hendak menjadi raja di negeri ini, supaya segala sesuatunya dapat diselesaikan dengan adil dan bijaksana.

Namun demikian, permintaan tuan itu mesti dihadapkan kepada daulat di Pagar Ruyung. Jika nanti diperkenankan oleh yang dipertuan Alam Minangkabau di Pagar Ruyung, sudah barang tentu Baginda Seri Maharaja Diraja akan menitahkan anak cucunya, atau kaum kerabatnya dari Pagar Ruyung ataupun dari Sungai Terap untuk menjadi raja disini dengan memakai segala adat kebesaran kerajaan cara Alam Minangkabau, dan memberi tanda keturunan kerajaan dari Sultan Seri Baginda Maharaja Diraja. Jikalau tuan-tuan memang bersungguh-sungguh hendak mendirikan kerajaan disini, maka sebaiknya tuan-tuan pergi menghadap daulat di Pagar Ruyung. Dan oleh karena pekerjaan hamba ini masih belum selesai, hamba mohon undur di hadapan tuan-tuan, sebab hamba hendak melanjutkan perjalanan hamba menuju selatan”. Setelah berpamitan, Baginda Maharaja Sakti bersama rombongannya itu segera berangkat meninggalkan negeri Bangkahulu. Keempat pesirah itupun mengantarkanya dengan hati yang masghul.

Menghadap Istana Pagar Ruyung

Sepeninggal Baginda Maharaja Sakti, keempat pasirah itu lalu bermufakat untuk segera berangkat ke negeri Alam Minangkabau menghadap Seri Baginda Maharaja Diraja. Setelah terjadi kata sepakat, maka keempat pasirah segera berangkat ke Pagar Ruyung. Tak seberapa lama kemudian, sampailah mereka di negeri Pagar Ruyung. Keempat pasirah itu lalu menghadap Menteri Empat Balai terlebih dulu, dan setelah itu kemudian baru diterima daulat tuanku di Pagar Ruyung. Dihadapan Seri Baginda Maharaja Diraja, keempat pasirah itu bersembah diri, lalu menceritakan hal ikhwal keadaan di negeri Bangkahulu, serta mengemukaan maksud dan tujuan kedatangan mereka. Mendengar persembahan keempat pesirah itu, Seri Baginda Maharaja Diraja amat bersukacita kemudian bertitah, “Hamba amat berkenan mendengar permintaan tuan-tuan hendak mendirikan kerajaan, tetapi siapakah yang akan menjadi raja di negeri tuan-tuan? Ataukah hamba yang akan menentukan orangnya”?. Keempat pasirah itupun lalu menuturkan : “ Ya tuanku syah alam, mohon diampun, bilamana hamba-hamba ini diperkenankan, hamba hendak memilih tuanku Baginda Maharaja Sakti untuk menjadi raja di negeri hamba. Karena tatkala tuanku Baginda Maharaja Sakti datang dinegeri hamba, dengan penuh adil dan bijaksana beliau telah mendamaikan pertikaian diantara hamba berempat. Maka, kemudian hamba berempat bermufakat hendak menjadikan beliau menjadi raja di negeri hamba. Namun demikian, tuanku Baginda Maharaja Sakti tiada kuasa menerima permohonan hamba berempat, karena harus berizin dahulu dengan tuanku Seri Baginda Maharaja Diraja. Oleh karena itulah, hamba berempat menghadap kemari. Hamba berempat akan menerima dengan senang hati siapa saja yang hendak dititahkan oleh yang dipertuan di Pagar Ruyung ini, niscaya hamba junjung tinggi. Mendengar penuturan yang amat tulus dari keempat pasirah itu, lalu bersabdalah Baginda, “Jikalau demikian halnya ayuhai pasirah, tunggulah barang sebentar, sebab Baginda Maharaja Sakti hingga saat ini belumlah kembali dari rantauannya”. Maka dengan senang hati keempat pasirah itupun menuruti permintaan yang dipertuan di Pagar Ruyung untuk menetap beberapa saat lamanya.

Tak seberapa lama kemudian, Seri Baginda Maharaja Diraja lalu memerintahkan hulubalangnya untuk mencari Baginda Maharaja Sakti yang ketika itu masih berada di bukit Siguntang-guntang.

Perjanjian Pagarruyung

Hulubalang yang diperintahkan oleh yang dipertuan di Pagar Ruyung itu telah bertemu dengan Baginda Maharaja Sakti di bukit Siguntang-guntang. Atas titah tuanku Pagar Ruyung, maka segeralah Baginda Maharaja Sakti menghadap dan bersembah diri kepada Seri Baginda Maharaja Diraja seraya menuturkan hal ikhwal tentang hasil perjalanannya. Yang dipertuan Sultan Baginda Maharaja Diraja itupun segera melepaskan hal ikhwalnya, serta mengharap agar Baginda Maharaja Sakti bersedia menjadi raja dinegeri Bangkahulu. Mendengar sabda Sultan Pagar Ruyung, lalu bersembahlah Baginda Maharaja Sakti : “Ya tuanku syah alam, senang sungguh patik mendengarkan titah tuanku, tetapi patik tiadalah mempunyai syarat-sayarat yang cukup. Oleh karena itu baiknya tuanku memilih yang lain saja. Bukankah banyak putra, atau cucu dari tuanku di dalam Pagar Ruyung ini atau di Sungai Terap yang patut dirajakan. Adapun perkataan patik ini sungguhlah bukan berkias gurindam, bukan bersanding beranjung, bukan dengki atau berkhianat, melainkan sebenar-benarnya perkataan.

Mendengar penuturan dari Baginda Maharaja Sakti yang sangat tulus itu, daulat Tuanku Sri baginda Maharaja Diraja menjadi terharu. Demikian halnya dengan para menteri dan segenap hulubalang, serta keempat pasirah yang ada disekelilingnya. Suasana di balairung alam Minangkabau ketika itu juga menjadi larut dalam keheningan. Malam pun segera menjelang, permufakatan untuk sementara waktu dihentikan. Setelah berjalan tiga hari tiga malam, daulat Tuanku Sultan pun bermimpi. Beliau bermimpi, melihat suatu perarakan yang amat ramai dan menyenangkan. Dalam perarakan itu terlihat Baginda Maharaja Sakti sedang ditandu menuju hulu Bangkahulu, untuk diangkat menjadi raja di sana.

Mimpi Baginda Sutan Pagar Ruyung itu sangat jelas arahnya. Maka, pada pagi harinya, Sultan segera menitahkan hulubalang memanggil Baginda Maharaja Sakti, beserta menteri empat balai, dan keempat pasirah untuk datang menghadap beliau. Daulat yang dipertuan Baginda Seri Maharaja Diraja itupun bertitah : “Pada hari ini, disaksikan oleh yang hadir dalam majelis di Balairung ini, kami mengizinkan Baginda Maharaja Sakti mendirikan kerajaan di negeri Bangkahulu.” Mendengar titah Baginda Seri Maharaja Diraja itu, keempat pasirah lalu bersuka cta. Maka Baginda Maharaja Sakti pun segera bersembah diri : “Ampun tuanku, jikalau demikian halnya, patik mohon sudilah kiranya tuanku membuatkan suatu permufakatan yang teguh antara pasirah-pasirah ini dengan rajanya, agar jangan ada perselisihan dikelak kemudian hari.”

Atas permufakatan dengan keempat pasirah itu, maka dibuatkanlah sebuah permufakatan di hadapan daulat tuanku di Pagar Ruyung, disaksikan oleh menteri empat balai. Adapun isi perjanjian itu ada sepuluh butir. Inilah bunyi isi perjanjiannya :
1. Raja tinggal di pesisir laut, sedangkan pasirah, dan perowatin tinggal di hulu.
2. Wilayah pesisir laut menjadi tanggung jawab raja, sedangkan wilayah pegunungan menjadi tanggung jawab pasirah perowatin.
3. Raja atau anak cucung raja, dan kerabatnya bebas berladang atau berkebun, atau mengambil kayu pendek dan panjang di segala hutan dan rimba, dan pasirah maupun perowatin tiadalah boleh melarangnya; jikalau ada orang luar datang menumpang berladang atau berkebun, atau mengambil kayu, rotan, damar, dan segala jenis hutan, hendaklah dengan izin raja.
4. Tiap-tiap tahun, bilamana anak-buah sudah memotong padi, hendaklah mengantarkan persembahan kepada raja beras sekulak, ayam seekor, kelapa sebuah dalam satu bubungan rumah. Maka itu semua akan menjadi makanan raja. Itulah tanda anak-buah yang membuat raja, bukan raja yang minta diangkat.
5. Waktu raja mudik ke hulu, memeriksa hal anak-buah yang meminta raja, maka anak-buah harus memberi beras sekulak, kelapa sebuah, ayam segantang tunjuk banyak kakinya. Itulah makanan raja serta segala pengiringnya selama berjalan di hulu.
6. Raja atau anak cucung raja, jika raja mufakat dengan pasirah – perowatin serta memberi garam atau kain hitam. Tak dapat tiada anak-buah perowatin menolong dengan beras, dan tukarannya sekulak garam, 10 kulak beras, sebubung kain hitam begitu juga. Itulah tukon namanya.
7. Bea dari segala labuhan dan kuala semuanya raja yang punya, tidak dapat tidak oleh pasirah dan perowatin, tetapi pasirah perowatin sendiri tiada kena bea labuhan atau kuala.
8. Segala jenis perkara yang kecil, pasirah dan perowatin yang berkuasa menyelesaikannya di tanah hulu; jika perkara itu besar maka hendaklah pasirah dan perowatin membawanya kehadapan raja untuk diselesaikannya bersama-sama.
9. Orang kerap gawe dibagi dua, satu bagian oleh pasirah yang punya marga dengan perowatin yang punya dusun, dan satu bagian kembali pada raja.
10. Jikalau hilang pasirah, raja mencarikan ganti pasirah; jikalau hilang raja, pasirah mencarikan ganti raja.

Demikianlah isi perjanjian antara Baginda Maharaja sakti dengan keempat pasirah yang disaksikan oleh daulat seri Baginda maharaja Diraja di Pagar Ruyung, serta menteri empat balai. Kemudian kedua belah pihak, baik Baginda Maharaja sakti maupun keempat pasirah itupun sama-sama berikrar. “Kami bersumpah untuk memegang teguh selama-lamanya, tidak lapuk dihujan, tidak lekang dipanas, selama gagak hitam, selama air hilir, kalau lurah sama dituruni, kalau bukit sama didaki, hilang sama dicari, tenggelam sama diselami, bersumpah bersetia, minum air dituntung keris. Barang siapa mungkir dari perjanjian, dimakan kutuk bisa kawi, dikutuk Qur’an tiga puluh juz, di bawah tidak berakar, di atas tidak berpucuk, di tengah digerek kumbang, ke darat tak boleh makan, ke air tak boleh minum, jatuh murka Allah ta’ala dengan seberat-beratnya.”

Setelah selesai bersumpah di balairung kampung dalam kerajaan Pagar Ruyung di hadapan tuanku Seri Maharaja Diraja, dan disaksikan pula oleh menteri empat balai, serta para hulubalang kerajaan, maka segeralah didirikan sebuah Alam Halipan yang dilengkapi dengan tunggul, dan panji-panji serta segala angkatan kerajan, pudai tinggi, bantal berapit kiri kanan, kain terbentang sampai ke atas, dilingkung pucuk beranyam, dayang-dayang sebanyak dua kali tujuh (empat belas) yang berdiri emas ditanai, juga terbentang cindai jajakan, serta dupa sebanyak dua kali tujuh (empat belas). Tak seberapa lama, dupa-dupa tersebut dinyalakan, gendang kalang luari dibunyikan, meriam seletus dipasang sebagai tanda penobatan raja. Selanjutnya, yang dipertuan Baginda Sultan Seri Maharaja Diraja di Pagar Ruyung segera memberikan sebelas tanda kebesaran kerajaan kepada Baginda Maharaja Sakti.

Adapun sebelas tanda kebesaran kerajaan itu ialah :
1. Dua buah meriam secorong besar dan satunya kecil;
2. Sebuah curik semandang giri retak seratus tiga puluh memancung sakti munuh, yang bentuknya seperti pedang;
3. Sebuah payung gedang berubur-ubur dengan kain kuning;
4. Sebuah tombak benderangan berambu janggut janggi;
5. Sebuah pedang jabatan;
6. Satu Alam Halipan;
7. Satu Marawal;
8. Satu panji;
9. Sebuah kotak tempat sirih berpakut emas;
10. Sebuah tempat air minum kendi berpalur emas ;
11. Sebuah gong mu’tabir alam.

Tatkala Baginda Maharaja Sakti menerima sebelas tanda kebesaran kerajaan dan berjabat tangan dengan daulat tuanku yang dipertuan di Pagar Ruyung, saat itulah bergetar puncak istana balairung, tempat penobatan sang Baginda hingga menimbulkan bunyi petus tunggal. Oleh karenanya, kelak dikemudian hari, marga bawaan dari baginda Maharaja sakti itu dinamai orang Marga Semitul.

Kembali ke Negeri Bangkahulu

Tak seberapa lama setelah usai penobatan, maka berpamitanlah Baginda Maharaja sakti beserta para pengiringnya, serta keempat pasirah menuju negeri Bangkahulu. Empat menteri yang telah mengiring Baginda Maharaja Sakti ketika berkelana itu juga dibawanya turun ke negeri Bangkahulu. Mereka berempat masing-masing bernama: Menteri Agam, Menteri Sumpu Melalo, Menteri Singkarak, dan Menteri Sandingbaka (Sending Bungkah). Beberapa waktu kemudian, sampailah rombongan baginda Maharaja sakti di suatu kuala Sungai Lemau yang hulunya menuju Gunung Bungkuk. Maka mereka pun lalu berhenti berjalan melepas kelelahan. Di situlah kiranya rombongan Baginda sudah berada di wilayah negeri Bangkahulu yang terbentang luas. Setibanya di negeri Bangkahulu, keempat pasirah lalu mengumpulkan adik sanak kerabat serta segenap perowatin dan anak-buahnya di tiap-tiap dusun. Mereka segera menyambut kedatangan rajanya dengan suka cita dan menjamunya.

Upacara penobatan Baginda Maharaja Sakti sebagai raja di negeri Bangkahulu segera dipersiapkan. Akan tetapi ketika upacara penobatan Baginda Maharaja Sakti hendak dimulai, tiba-tiba datang hujan badai yang amat kencang, disertai gemuruhnya sang halilintar menyambar-nyambar tiada henti-hentinya. Atas permufakatan bersama, upacara penobatan Baginda Maharaja Sakti untuk sementara ditunda menunggu redanya hujan badai, dan tenangnya hari.

Bidadari dari Gunung Bungkuk


Hari telah berjalan tiga malam. Ternyata hujan badai yang disertai sambaran petir itu tak kunjung berhenti. Anehnya, pada malam harinya berturut-turut hingga malam ketiga, Baginda Maharaja Sakti bermimpi melihat seorang bidadari nan cantik jelita. Bidadari itu sedang menari-nari di tengah hujan badai. Baginda sungguh keheranan karena sang bidadari itu tiada terkena hujan barang sedikitpun jua. Kemudian sang bidadari itu terbang menuju ke arah Gunung Bungkuk. Pada keesokan harinya, Baginda Maharaja Sakti segera memanggil keempat pasirah. Lalu diceritakanlah tentang mimpinya yang amat menakjubkan. Baginda bertambah pikiran, dan amat terpikat oleh kecantikan bidadari dalam mimpinya. Baginda lalu meminta pendapat kepada keempat pasirah untuk mencarikan keterangan, apa makna dalam mimpinya itu. Mendengar penuturan sang baginda itu, keempat pasirah segera mengadakan permufakatan untuk mencarikan jalan keluarnya.

Mereka berempat lalu sepakat untuk mencari seorang ahli nujum yang dapat meramalkan, gerangan apakah yang ada dalam mimpi rajanya itu. Maka, disuruhlah anak-buahnya untuk segera mencari seorang ahli nujum yang sakti. Tak seberapa kemudian, datanglah utusan itu menghadap keempat pasirah dengan membawa seorang ahli nujum. Kemudian oleh keempat pasirah, ahli nujum itu dihadapkan kepada Baginda Maharaja Sakti. Ahli nujum itupun segera bersembah diri. ”Ampun Baginda, hamba datang ingin menghadap duli Baginda, adakah gerangan yang hendak hamba terima titah Baginda?” Maka bertitahlah Baginda Maharaja Sakti: “Hai ahli nujum, tiadalah kiranya kubentangkan kata nan panjang di hadapan tuan, karena tuan pastilah telah membawa beritanya.” Ahli nujum pun menjawabnya, “Ampun ya Baginda, sungguh tiadalah hamba berani mendahului sabda tuanku, sebab takabur itu sifat yang sangat tidak baik bagi seorang hamba Allah.” Mendengar penuturan si ahli nujum itu, Baginda pun segera maklum, maka berceritalah Baginda Maharaja Sakti hal ikhwal tentang mimpinya itu. Ahli nujum itupun segera memberikan keterangan dihadapan Baginda Maharaja Sakti, perihal bidadari nan elok dan juwita itu. “Ampun hamba, ya Tuanku Baginda, adapun bidadari nan elok juwita yang mengganggu pikiran Baginda itu sesungguhnya adalah tuanku Putri Gading Cempaka, putri bungsu dari mendiang tuanku Baginda Ratu Agung di negeri Sungai serut. Kini tuan Putri Gading Cempaka masih berada di Gunung Bungkuk, tinggal bersama keenam saudara tuanya. Menurut ramalan hamba, Tuanku Baginda akan dapat mendirikan negeri Bangkahulu ini tegak kembali dengan selamat, bilamana tuanku dapat serta membawa tuanku Putri Gading Cempaka. Berdasarkan ramalan hamba, tuanku Putri Gading Cempaka inilah yang dapat menurunkan raja-raja di negeri ini, karena tuan Putri itu sesungguhnya anak daripada Ratu Agung jelmaan Dewa dari Gunung Bungkuk”. Betapa sukacitanya Baginda Maharaja Sakti mendengar uraian dari ahli nujum itu. Maka timbullah hasrat yang amat kuat dalam hati dan pikiran Baginda Maharaja Sakti untuk segera dapat meminang Putri Gading Cempaka. Sebab tatkala itu Baginda Maharaja Sakti memang belum memiliki calon permaisuri yang akan mendampinginya sebagai raja di negeri Bangkahulu.

Menjemput ke Gunung Bungkuk


Setelah Baginda Maharaja Sakti mengadakan permufakatan dengan keempat pasirah, serta para menterinya itu, maka diputuskanlah untuk segera mengutus hulubalang menuju Gunung Bungkuk menjemput Putri Gading Cempaka beserta keenam saudara-saudaranya. Keempat pesirah beserta para perowatinnya itupun menjadi penunjuk jalan menuju Gunung Bungkuk. Pada hari yang dianggap baik, berangkatlah utusan dari Baginda Maharaja Sakti menuju Gunung Bungkuk. Tak seberapa lama, keempat pasirah dan segenap perowatin beserta para hulubalang utusan Baginda Maharaja Sakti itupun sampailah di kaki Gunung Bungkuk. Anak Dalam beserta keenam sudaranya yang tinggal di Gunung Bungkuk itu amatlah terkejut melihat dari kejauhan ada serombongan pasukan yang hendak menuju ke tempatnya. Ketujuh saudara itupun menjadi sangat cemas hatinya, dan takut kalau-kalau yang datang itu musuh.

Maka segeralah Anak Dalam menyuruh si bungsu Putri Gading Cempaka untuk bersembunyi. Sementara itu Anak Dalam bersama dengan saudara-saudaranya yang lain siap menghadapi para tamunya yang tiada diundang itu. Betapa terkejutnya Anak Dalam beserta saudara-saudaranya itu, tatkala sudah saling berhadapan, ternyata para tamunya itu segera berlutut menghaturkan sembah. “Ampun diperbanyak ampun tuanku, hamba-hamba ini adalah utusan dari tuanku Baginda Maharaja Sakti, raja di negeri Bangkahulu. Adapun kedatangan hamba kemari tiada lain atas titah Baginda untuk menjemput tuanku Putri Gading Cempaka beserta tuan-tuan sekalian, serta hendak mengangkat tuan Putri Gading Cempaka menjadi permaisuri Baginda di negeri Bangkahulu.” Selanjutnya diceritakan bahwa Baginda Maharaja Sakti belum kuasa mendirikan kerajaannya, sebelum dapat bersanding dengan tuan Putri Gading Cempaka untuk mendampingi menjadi permaisurinya. Pasirah yang lain pun ikut melengkapi ceritanya, bahwa tatkala hendak mendirikan Alam Halipan untuk upacara penobatan sang raja, tiba-tiba datang hujan badai yang disertai halilintar yang amat menyeramkan. Bahkan selama tiga malam Baginda telah bermimpi melihat seorang bidadari nan cantik jelita sedang menari-nari ditengah hujan badai.

Menurut salah seorang ahli nujum, bidadari nan cantik jelita itu tiada lain adalah tuanku Putri Gading Cempaka. Setelah mendengar penuturan dari salah satu pasirah, maka sangatlah lapang hati Anak Dalam beserta kelima saudara tuanya itu. Anak Dalam pun segera memanggil si bungsu Putri Gading Cempaka keluar dari tempat persembunyiannya. Ketujuh bersaudara itupun kemudian teringat akan pesan dari almarhum ayahnya, bahwa pada suatu waktu, akan datang seorang raja yang akan mengangkat si bungsu untuk menjadikannya permaisuri di kerajaannya. Ketujuh bersaudara iutpun kemudian menyetujui permohonan keempat pasirah utusan Baginda Maharaja Sakti. Maka, segeralah mereka bertujuh itu berkemas diri dengan membawa perbekalan secukupnya. Pad keesokan harinya, berangkatlah ketujuh bersaudara itu diiringi oleh keempat pasirah dan segenap perowatinya beserta hulubalang kembali menuju negeri Bangkahulu.

Berdirinya Kerajaan Sungai Lemau

Tak seberapa kemudian sampailah utusan Baginda bersama dengan Putri Gadinga Cempaka dan keenam saudara-saudaranya di negeri Bangkahulu. Baginda Maharaja Sakti segera menyambut para tamunya dengan rasa sukacita. Maka segera dipersiapkan pesta besar-besaran untuk melangsungkan acara perkawinan antara Baginda Maharaja Sakti dengan Putri Gading Cempaka. Pada kesempatan yang sama juga dilangsungkan upacara penobatan sang Baginda Maharaja Sakti menjadi raja di negeri Bangkahulu, sedangkan tuan Putri Gading Cempaka duduk disampingnya menjadi permaisurinya. Tak seberapa lama kemudian, dibangunkannya sebuah istana kerajaan sebagai pusat pemerintahan serta kediaman Baginda dan permaisuri Putri Gading Cempaka.

Adapun letak istana kerajaannya di kuala Sungai Lemau. Oleh sebab itu, maka nama kerajaan dari Baginda Maharaja Sakti itu kemudian disebut kerajaan Sungai Lemau. Dibawah pemerintahan Baginda Maharaja Sakti yang didampingi oleh tuanku Putri Gading Cempaka, negeri Sungai Lemau kian lama kian masyhur namanya. Kehidupan rakyatnya semakin bertambah makmur, negerinya amat subur. Padipun mudah menjadi, beras amatlah murah, anak-buahpun semakin berkembang banyak. Adat dengan lembaga berdiri kokoh. Adat yang dipakai , lembaga yang dituang, bak air mengarus hilir, adat mengarus mudik. Mengarut cupak dengan gantang, mengatur ukuran dengan timbangan.
Lahirnya Sang Putra Mahkota Beberapa bulan kemudian, tuan Putri Gading Cempaka itupun sudah mulai menujukkan tanda-tanda kehamilan. Maka tidak lama lagi Baginda dan permaisuri akan segera mendapatkan karunia seorang anak. Setelah bulan berjalan sembilan lebih sepuluh hari, Putri Gading Cempak kemudian melahirkan seorang putra laki-laki. Bukan kepalang girangnya Baginda Maharaja Sakti serta Putri Gading Cempaka setelah mendapatkan putra laki-laki yang mungil dan lucu itu. Maka pada hari yang baik segeralah Baginda Maharaja Sakti mengumpulkan segenap kerabat kerajaan, anak-buah serta para dayang untuk mengadakan upacara selamatan menyambut kelahiran putra mahkota negeri Sungai Lemau itu. Kemudian Baginda Maharaja Sakti memberinya nama : Aria Bago.

Demikianlah ceritera Putri Gading Cempaka yang menurunkan raja-raja dinegeri Sungai Lemau.

Putri Serindang Bulan


Cerita Rakyat dari Tanah Rejang

Putri Yang Malang


Tersebutlah dalam kisah, pada zaman dahulu sebelum ada nama Muara Ketahun, ada nama Sungai Serut. Setelah ditinggali oleh Putri Serindang Bulan, selama setahun, maka dinamailah wilayah itu Muara Setahun (sekarang Ketahun).

Konon pada zaman dahulu ada seorang putri raja yang cantik jelita bernama Putri Serindang Bulan. Oleh karena kecantikannya yang tiada taranya, maka banyak orang yang jatuh hati kepadanya. Sudah banyak pemuda yang tertambat hatinya ingin mempersunting Putri Serindang Bulan. Tetapi Putri Serindang Bulan sendiri belum memikirkan untuk hidup berumah tangga. Walaupun pada saat itu, usia Putri Serindang Bulan sudah cukup dewasa untuk hidup berkeluarga. Sebagai anak bungsu, Putri Serindang Bulan selalu menunjukkan rasa hormatnya kepada keenam kakak kandungnya. Karena keenam kakak kandungnya belum juga menikah, maka Putri Serindang Bulan tidak mau mendahului. Oleh sebab itulah Putri Serindang Bulan belum bersedia menerima pinangan. Tentu saja sikap Putri Serindang Bulan itu mengecewakan banyak orang, termasuk pula keenam kakaknya.

Keenam kakak kandungnya merasa kecewa dan menanggung malu, karena adiknya tidak mau segera menikah. Padahal keenam kakaknya berniat kawin beleket, setelah Putri Serindang Bulan menikah dahulu. Oleh sebab itulah, pada suatu hari dipanggilnya Putri Serindang Bulan oleh keenam kakaknya. Di sebuah Balai Panjang Istana, duduklah berkumpul tujuh kakak beradik mengadakan rapat keluarga. Dalam rapat tersebut, keenam kakaknya mendesak agar Putri Rindang Bulan segera menikah. Sebagai adik bungsu yang selalu hormat kepada kakak-kakaknya, Putri Serindang Bulan pun tak kuasa menolaknya. Walaupun dalam hati sebenarnya, Putri Serindang Bulan belumlah menemukan jodohnya. Rupanya sikap Putri Serindang Bulan yang sudah lunak itu segera tersiar keseluruh penjuru wilayah kerajaan. Tentu saja banyak yang menyambutnya dengan sukacita. Terlebih anak para raja yang sudah lama memendam rasa cintanya ingin mempersunting Putri Serindang Bulan.

Tak seberapa lama kemudian, datanglah utusan dari seorang Pangeran Muda yang tampan menghadap Sang Baginda Raja Wawang. Kedatangannya tak lain bermaksud mempersunting Putri Serindang Bulan yang terkenal eloknya. Raja Wawang dan keenam kakak-kakaknya itupun segera menerima dengan penuh suka cita. Maka, segeralah disusun rencana hari bimbangnya. Ketika dipertemukan kedua calon mempelai, tiba-tiba paras Putri Serindang Bulan yang semula cantik berubah amat buruk. Wajah dan kulit Putri Serindang Bulan telah terkena penyakit kusta yang menjijikkan. Dilihatnya wajah Putri Serindang Bulan yang amat menjijikkan itu, maka bergegaslah Pangeran Muda itu meninggalkan Balai bimbang.

Utusan Pangeran Muda itupun segera membatalkan acara pernikahan, dan pulang dengan hati kecewa. Apa hendak dikata, jikalau batang sudah berarang, itulah kenyataannya. Keluarga Raja Wawang dan keenam kakaknya pun tak dapat menyalahkan pembatalan utusan Pangeran Muda itu. kecuali hanya menanggung malu dan rasa sedih akan kejadian yang sungguh diluar jangkauan akal manusia. Akan tetapi, tak lama kemudian setelah para utusan itu pulang, tiba-tiba penyakit kusta Putri Serindang Bulan itu hilang seketika. Wajah dan kulit yang buruk dan menjijikkan itu kini telah menjadi bersih dan cantik kembali. Raja Wawang dan keenam kakaknya menyambutnya dengan gembira. Dan kabar telah sembuhnya Putri Serindang Bulan dari penyalit kusta itu pun segera menyebar ke segala penjuru kerajaan.

Pada hari berikutnya, datanglah seorang pemuda gagah dan tampan bersama rombongannya masuk ke istana. Pemuda dan rombongannya itu segera menyatakan maksudnya untuk mempersunting Putri Serindang Bulan. Perundingan segera dilakukan, acara bimbang pun telah diserapatkan. Suatu hari ketika kedua mempelai dipertemukan, kejadian aneh terulang kembali. Tiba-tiba wajat dan kulit Putri Serindang Bulan berubah buruk dan menjijikkan. Semua yang melihat sangat terkejut, terlebih calon mempelai laki-laki. Setelah dilihatnya seluruh wajah dan kulit Putri Serindang Bulan berubah buruk dan menjijikkan, maka berlarilah calon mempelai laki-laki itu meninggalkan Balai Panjang Istana. Demikian juga dengan rombongannya. Maka batallah rencana perkawinan Putri Serindang Bulan untuk kedua kalinya. Keluarga Raja Wawang beserta keenam kakaknya pun menanggung rasa malu yang amat besar.

Peristiwa itu sungguh luar biasa anehnya. Sebab begitu dibatalkan, tiba-tiba penyakit kusta Putri Serindang Bulan hilang seketika. Wajah dan kulitnya yang amat buruk dan menjijikkan itu telah kembali seperti semula. Bahkan wajah dan kulitnya pun tak berbekas sedikitpun. Peristiwa itu sungguh mentakjubkan banyak orang. Peristiwa itu terus terjadi tanpa disadarinya. Jikalau dihitung, sudah ada sembilan orang yang membatalkan pernikahannya dengan Putri Serindang Bulan. Raja Wawang dan keenam kakaknya pun kian lama kian murka dibuatnya. Keenam kakaknya pun mulai menaruh curiga buruk terhadap adik bungsunya, Putri Serindang Bulan.

Dibuang Setahun

Akibat pembatalan pernikahan yang terus menerus itu, hubungan antara Putri Serindang Bulan dengan keenam kakaknya itu semakin jauh. Putri Serindang Bulan mulai dimusuhi oleh kakak-kakaknya. Bahkan ada yang berniat untuk menyingkirkannya, karena dianggap menjadi sumber petaka bagi keluarga kerajaan. Pada suatu hari berkumpullah keenam kakaknya di sebuah ruangan istana yang dirahasiakan. Pertemuan keenam kakak-kakaknya itu membahas rencana menyingkirkan adik bungsunya. Salah satu kakaknya mengusulkan agar adik bungsunya di bawa ke hutan lalu dibunuhnya. Kemudian diusulkan pula, bahwa yang membawa si bungsu itu sebaiknya Karang Nio. Sebab, Karang Nio adalah kakak si bungsu yang kelima, yang dinilai lebih dekat dengan adik bungsunya. Semula Karang Nio keberatan dengan usulan kakak-kakaknya yang merencanakan akan membunuh si bungsu. Tetapi karena yang lainnya menyetujui, maka Karang Nio tak dapat berbuat banyak kecuali melaksanakannya.

Kemudian dibuat kesepakatan sebagai tanda bukti, bahwa Karang Nio harus membawa setabung darah si bungsu, dan bukti penigasan (irisan) bagian telinganya. Setelah segala sesuatunya telah dipersiapkan, maka pergilah Karang Nio menemui adiknya si bungsu Putri Serindang Bulan. Kemudian diajaknya Putri Serindang Bulan pergi jalan-jalan. Putri Serindang Bulan mulanya tak menaruh curiga kepada kakaknya, tetapi setelah perjalanannya semakin jauh masuk ke hutan, perasan Putri Serindang Bulan semakin takut tak karuan. Setibanya di tengah hutan, Karang Nio segera mengajak Putri Serindang Bulan untuk beristirahat sejenak. Disaat beristirahat itulah, Putri Serindang Bulan bertanya kepada kakaknya. “Tiadalah pernah sekali-kali kakak membawaku sampai sejauh ini. Adakah gerangan hingga kakak membawaku ketengah hutan yang amat sunyi ini?”

Mendengar pertanyaan yang amat menyentuh hati itu, tiadalah Karang Nio mampu menjawab barang sepatah katapun. Bibirnya seperti terkunci rapat, hingga tak keluar suara sedikitpun dari rongga mulutnya. Dalam lubuk hati yang terdalam, Karang Nio sungguh tiada sanggup untuk membunuh adik bungsunya. Setelah dipikirkannya masak-masak, lalu berceritalah Karang Nio kepada adik bungsunya. Dikatakannya terus terang, bahwa ia disuruh oleh kakak-kakaknya untuk membunuh Putri Serindang Bulan. Kakak-kakaknya merasa menanggung malu akibat perbuatan si bungsu. Untuk menghapus rasa malu, maka diputuskan untuk membunuh Putri Serindang Bulan di tengah hutan. Dan kelak jikalau kakak kembali harus membawa tanda buktinya, irisan sebagian dari telinganya. Mendengar pengakuan tulus dari kakaknya itu, Putri Serindang Bulan segera menyadari akan nasibnya.

Maka berkatalah Putri Serindang Bulan dengan bijaknya: “Jikalau demikian adanya, lakukanlah segera kanda. Adik serahkan sepenuhnya nyawa ini kepada kakanda.” Maka Karang Nio pun segera membalasnya, “Sungguh hati kecil kakanda tiadalah tega untuk melakukannya. Sebab, kakanda amat kasih dan sayang semata kepada adinda.” Setelah berpikir sejenak, Karang Nio lalu memotong seekor anjing. Darah anjing itu kemudian ditempatkan pada sebuah tabung yang dibawanya. Maka berkatalah kepada adiknya; “inilah bukti yang akan aku tunjukkan kepada mereka. Oleh karena harus ada tanda bukti lain, maka izinkanlah kakanda melukai barang sedikit daun telinga sebelah belakang adinda. Kelak jikalau kita dipertemukan kembali, kakanda dapat menemukan tanda itu pada diri adinda. Sebaliknya, kakanda juga akan melukai telunjuk jari kakanda sendiri, sebagai tanda pengingat pada adinda.”

Kemudian Karang Nio mengajak Putri Serindang Bulan pergi menuju ketepian sungai keramat Ulau Deus. Karang Nio segera membuat rakit untuk melepas Putri Serindang Bulan. Setelah rakit jadi, lalu dilepaslah Putri Serindang Bulan hingga terbawa arus sungai. Konon ceritanya setiap daerah yang dilewati Putri Serindang Bulan itu menjadi sebuah dusun. Maka jadilah sebuah dusun yang bernama Dusun Raja. Tak terasa setahun sudah Putri Serindang Bulan menyisiri sungai dengan rakitnya. Setelah sampai di sebuah muara, maka diberilah nama daerah dengan itu nama Muara Setahun ( sekarang menjadi Ketaun). Setibanya di muara Setahun, Putri Serindang Bulan segera menaikkan rakitnya ketepian sungai. Selanjutnya Putri Serindang Bulan menaiki tebing dan membuat tempat tinggal disana. Tempat tinggal Putri Serindang Bulan diatas tebing itu, kemudian diberi nama Tepat Masat. Di tempat inilah Putri Serindang Bulan tinggal dalam waktu yang cukup lama.

Bertemu Raja Indrapura

Pada suatu ketika, ada sebuah perahu yang melewati muara sungai Setahun. Pemilik perahu itu adalah seorang raja dari Indrapura yang bernama Tuanku Raja Alam. Ketika perahu melewati muara, Tuanku Alam Raja melihat cahaya kemilau yang memancar di atas tebing. Oleh karena rasa penasarannya, maka segeralah Tuanku Raja Alam mendekati dan menaiki tebing itu. Sesampainya di atas tebing, cahaya yang kemilau itu tiba-tiba hilang, dan yang ada hanyalah sebuah bangunan rumah. Maka segeralah Tuanku Raja Alam mendekati bangunan rumah itu, lalu mengetuk pintunya. Tak lama kemudian, muncullah Putri Serindang Bulan dari dalam rumah itu. Tuanku Raja Alam sangat terkejut melihat Putri Serindang Bulan yang memiliki paras nan elok dan jelita. Keduanya pun saling berkenalan.

Kemudian Putri Serindang Bulan menceritakan asal mula kejadiannya hingga terdampar di muara Sungai Ketahun. Mendengar penuturan kisah Putri Serindang Bulan yang amat lembut itu, Tuanku Raja Alam menjadi terharu dan kian terpikat olehnya. Tuanku Raja Alam juga menceritakan tentang kegemarannya pergi berburu kehutan-hutan, hingga akhirnya bertemu dengan Putri Serindang Bulan. Setelah keduanya saling bercerita, Tuanku Raja Alam kemudian mengutarakan niatnya untuk membawa Putri Serindang Bulan ke istana Indrapura. Putri Serindang Bulan pun menyambutnya dengan penuh sukacita. Maka segeralah mereka berangkat menuju istana kerajaan Indrapura.

Calon Permaisuri Raja


Tak seberapa lama kemudian, tibalah rombongan Tuanku Raja Alam bersama Putri Serindang Bulan di istana kerajaan Indrapura. Maka segeralah Tuanku Raja Alam mengumpulkan para hulubalang, serta memanggil empat penghulu kerajaan untuk mengadakan kerapatan. Di hadapan para pembesar dan empat penghulu kerajaan Indrapura, Putri Serindang Bulan segera menceritakan kembali kisah sedih hidupnya hingga akhirnya bertemu dengan Tuanku Raja Alam.

Mendengar kisah hidup Putri Serindang Bulan itu, para pembesar kerajaan beserta empat penghulu menjadi terharu karenanya. Tuanku Raja Alam kemudian menyatakan niatnya untuk mempersunting Putri Serindang Bulan. Oleh karena takut akan terjadi peristiwa yang sama, maka empat penghulu itu minta waktu tiga hari. Setelahj genap waktu tiga hari, maka menghadaplah keempat penghulu itu. mereka menyetujui perkawinanTuanku Raja Alam dengan Putri Serindang Bulan. Dan menjamin tidak akan terjadi apa-apa, karena Tuanku Raja Alam sudah mempunyai enam orang istri. Tetapi untuk terlaksananya sarana adat perkawinan itu, wali dari calon mempelai harus didatangkan.

Itulah sa;ah satu syarat yang harus dilaksanakan agar perkawinan itu sah adanya. Setelah mendapat keterangan dari keempat penghulu itu, Tuanku Raja Alam pun dapat memakluminya.

Bimbang Besar

Tak seberapa lama lagi, kerajaan Indrapura akan menyelenggarakan acara pesta pernikahan antara Tuanku Raja Alam dengan Putri Serindang Bulan secara besar-besaran. Menurut adat tradisi yang berlaku di kerajaan Indrapura, pesta pernikahan secara besar-besaran itu disebut bimbang besar atau bimbang gedang. Sesuai dengan syarat adat yang berlaku di negeri itu, calon wali mempelai wanita harus dihadirkan sebagai wali saksi. Oleh sebab itulah, Putri Serindang Bulan segera mengirim kabar kepada ayahanda dan keenam kakaknya. Raja Wawang dan keenam kakaknya sangat terkejut mendapat kabar bahwa si bungsu Serindang Bulan masih hidup. Bahkan keluarga kerajaan merasa senang mendapat kabar Putri Serindang Bulan akan dipersunting oleh Tuanku Raja Alam dari kerajaan Indrapura. Ingin rasanya Raja Wawang menghadiri acara bimbang besar di kerajaan Indrapura. Akan tetapi, apa hendak dikata. Maksud hati ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Oleh karena usianya yang sudah lanjut, maka Raja Wawang tak dapat menghadiri acara bimbang besar putrinya. Maka Raja Wawang segera mengutus keenam anaknya (kakak-kakak Putri Serindang Bulan) untuk mewakili pernikahan si bungsu.

Pada hari yang telah disepakatkan, berangkatlah keenam kakak Putri Serindang Bulan ke negeri Indrapura. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya tibalah mereka di negeri Indrapura. Sesampainya di istana kerajaan Indrapura, mereka segera menghadap Tuanku Raja Alam. Setelah memperkenalkan diri, mereka lalu menyampaikan maksud kedatangannya. Mereka bermaksud meminta uang beleket, yaitu uang tebusan sebagai pengganti si bungsu yang akan diambil oleh Tuanku Raja Alam. Mendengar permintaan keenam kakak Putri Serindang Bulan itu, Tuanku Raja Alam akan mengabulkan permintaan kakak beradik itu, dengan syarat mereka harus dapat mengenali Putri Serindang Bulan. Apabila mereka masih dapat mengenali Putri Serindang Bulan, Tuanku Raja Alam akan memenuhi permintaannya, dan akan diberi berbagai macam hadiah. Sebaliknya, jikalau tak satu pun dari mereka yang bisa menebak, maka uang beleket itu tak akan diberikan. Bahkan Tuanku Raja Alam mengancam akan menghukum mereka.

Karena sudah kepalang basah, maka mereka pun menyatakan kesediaannya. Tak seberapa lama. Tuanku Raja Alam segera memanggil tujuh wanita yang wajahnya mirip dengan Putri Serindang Bulan untuk dihadapkan kepada mereka. Keenam kakak-beradik itupun segera mengamati satu persatu ketujuh wanita yang amat jelita parasnya. Kakak yang pertama menyerah, karena tidak dapat mengenali lagi wajah si bungsu Putri Serindang Bulan. Selanjutnya, disusul oleh kakak keduanya. Kakak keduanya juga tidak mampu mengenali lagi wajah si bungsu adiknya. Kini giliran kakak yang ketiga. Ternyata kakak yang ketiga pun tak mengenal lagi mana adiknya yang sebenarnya. Demikian juga kakak keempat dan kelima. Keduanya sama-sama tidak mampu menebaknya. Suasanapun menjadi amat menegangkan, perjanjian sudah disepakati bersama. Jikalau tak satupun ada yang bisa menebak siapa adiknya, maka tamatlah riwayat mereka, sebab mereka akan dibunuhnya. Kini mereka bergantung kepada Karang Nio. Ketika giliran jatuh pada Karang Nio, yaitu kakaknya yang keenam, Karang Nio tiba-tiba teringat pada peristiwa masa silam. Bahwa ia pernah memberikan sebuah tanda pada diri adiknya, yaitu dengan melukai daun telinga adiknya dibagian belakang. Maka, segeralah Karang Nio memeriksa satu-persatu daun telinga ketujuh wanita itu. ketika Karang Nio memeriksa daun telinga salah satu dari ketujuh wanita itu, ternyata diketemukan sebuah tanda. Setelah Karang Nio dapat menemukan tanda itu, maka Karang Nio semakin yakin bahwa wanita itu tidak lain adalah si bungsu Putri Serindang Bulan. Karang Nio pun segera menghadap Tuanku Raja Alam. Lalu berkata : “Tuanku Raja Alam, inilah si bungsu hamba Putri Serindang Bulan. Sebab hambalah yang memberikan tanda itu, sebelum hamba menghanyutkannya ke sungai.”

Kemudian Karang Nio kembali lagi mendekati Putri Serindang Bulan, seraya berkata: ”Oi Dindaku sayang engkau seorang, kini jodoh sudah ada di depan. Tentunya, Dinda pun telah mengenali kami.” Karang Nio pun segera memperlihatkan tanda pengenal, yaitu luka yang ada pada telunjuk jarinya. Kedua kakak beradik itupun segera berangkul melepas rasa rindu. Melihat kedua kakak beradik yang telah bertemu, maka suasana dalam istana karajaan Indrapura seketika menjadi penuh haru. Tuanku Raja Alam pun dapat memakluminya. Maka, legalah hati kakak beradik itu, karena tidak jadi dihukum oleh sang raja. Tuanku Raja Alam pun tiada jadi menghukumnya. Sebaliknya, Tuanku Raja Alam segera membayar uang jujur sebesar enam ruas bambu emas kepada masing-masing kakak beradik Putri Serindang Bulan itu. Pesta perkawinan antara Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan pun segera diadakan. Bimbang besar telah digelar selama tujuh hari tujuh malam lamanya. Seluruh rakyat negeri itu pun turut bersuka cita menyambut acara bimbang besar. Segala perabot bimbang. Musik gong, kulintang, redap, dan gendang pun dibunyikan bertalu-talu. Tua muda, bujang dan gadis pun turut mengisi berbagai macam tarian.

Muara Urai

Usai pelaksanaan bimbang besar, keenam kakak beradik itu segera berpamitan kepada Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan. Mereka pulang dengan masing-masing membawa setabung bambu berisi emas. Tetapi sayang tabung bambu berisi emas itu jatuh di dasar laut, ketika biduk yang ditumpanginya pecah di tengah laut. Kecuali tabung bambu emas milik Karang Nio. Kemudian mereka mendarat di Serangai, dan terus berjalan menyisiri sebuah muara. Disanalah mereka saling bertikai dan berebut tabung emas milik Karang Nio yang selamat. Ketika mereka saling berebut, tabung emas milik adiknya itupun jatuh terurai. Tempat jatuhnya emas yang terurai itu, kemudian dinamakan Muara Urai. Melihat emas telah jatuh terurai, maka segeralah mereka berebut mendapatkannya. Akhirnya mereka pun mendapat bagian emas dari adiknya.

Setelah mendapatkan emas secukupnya, kemudian mereka saling berpisah. Adiknya yang keenam, yaitu Karang Nio segera menuju ke sebuah tempat yang dianggapnya aman dari segala gangguan. Akhirnya sampailah Karang Nio tiba di sebuah muara dan menetap disana. Tempat menetap Karang Nio itu kemudian diberi nama Muara Aman.

Melahirkan Anak Calon Raja

Sementara itu kehidupan Putri Serindang Bulan, tampak selalu bahagia. Meskipun raja sudah memiliki enam orang isteri, tetapi perhatian dan kasih sayangnya lebih banyak dicurahkan kepada Putri Serindang Bulan. Karena Putri Serindang Bulan adalah permaisurinya. Sedangkan yang lainnya hanyalah isteri selirnya. Waktu terus berlalu dengan cepatnya. Jalinan kasih sayang Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan kian menunjukkan buahnya. Tak seberapa lama, maka mengandunglah Putri Serindang Bulan. Tuanku Raja Alam pun menerimanya dengan amat suka citanya. Setelah menuju kesembilan bulan lewat sepuluh hari, Putri Serindang Bulan pun akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu kemudian diberi nama Raja Bendar Panglimo Koto. Sebagai ibu yang amat kasih dan sayang kepada anaknya, maka Putri Serindang Bulan tak henti-hentinya membuai dan menimang-nimang si kecil Raja Bendar Panglimo Koto. Walaupun sudah ada segenap inang dan dayang-dayang kerajaan yang siap mengasuh dan melayani si kecil, tetapi Putri Serindang Bulan lebih senang merawat dan mendidiknya sendiri. Oleh sebab itulah Putri Serindang Bulan tidak mau menyerahkan anaknya kepada inang dan dayang-dayangnya. Rupanya Putri Serindang Bulan ingin sekali agar si kecil Raja Bendar Panglimo Koto kelak hingga dewasa selalu menghormati dan menghargai kedua orang tuanya. Dibawah asuhan kasih sayang ibundanya, Raja Bendar Panglimo Koto semakin tumbuh dan berkembang menjadi seoarng anak remaja dengan kepribadian yang baik.

Menjadi Raja di Ketahun

Setelah beranjak dewasa, Tuanku Raja Alam berkehendak agar Raja Panglimo Koto dapat menggantikan kedudukannya menjadi raja di Indrapura. Akan tetapi, sang anak yang telah mendapatkan pendidikan dan ajaran ibunya, tidak ingin mengharap warisan sang ayah. Raja Bendar Panglimo Koto, lebih senang jikalau dapat dengan bebas menentukan nasib jalan hidupnya sendiri. Atas kebijaksanaan Putri Serindang Bulan, Raja Bendar Panglimo Koto kemudian disuruhnya pergi ke daerah Ketahun untuk membuat dusun.

“Duhai Anakanda pujaan Bunda, jikalau Anakanda hendak merantau di negeri lain dan ingin menjadi raja di sana, maka pergilah ke Ketahun. Kelak anakanda akan menjadi raja disana. Sebab ibunda pernah tinggal berlama di sana”. Mendengar penuturan ibunya yang penuh bijaksana itu, maka semakin terbukalah tekad Raja Bendar Panglimo Koto Pada hari yang baik, maka berpamitlah Raja Bendar Panglimo Koto kepada kedua orang tuanya. Tuanku Raja Alam pun tak kuasa menahan keinginan anaknya. Sebagai orang tua yang amat sayang kepada anaknya, tentu saja Tuanku Raja Alam tidak ingin anaknya mendapat kesulitan dijalan. Oleh sebab itulah, Tuanku Raja Alam memerintahkan hulubalang dan anak buah secukupnya untuk turut menyertai keberangkatan anaknya.

Segala macam bekal keberangkatan juga telah dipersiapkan oleh Putri Serindang Bulan. Sebelum berangkat, Putri Serindang Bulan berpesan kepada anaknya, agar kelak setelah berhasil membuat dusun disana, segera memberikan kabar ke Indrapura. Putri Serindang Bulan juga berjanji, jikalau kelak Raja Bendar Panglimo Koto telah menjadi raja disana, maka ibunya akan segera datang berkunjung. Setelah segala macam bekal telah dipersiapkan, maka Raja Bendar Panglimo Koto segera mohon do’a restu kedua orang tuanya untuk merantau ke negeri Ketahun. Dengan disertai do’a restu oleh kedua orang tuanya, berangkatlah Raja Bendar Panglimo Koto beserta anak buahnya menuju Muara Ketahun. Perjalanan yang amat panjang dan penuh rintangan, memerlukan semangat dan perjuangan yang keras. Dengan semangat dan perjuangan yang keras itulah pada akhirnya rombongan Raja Bendar Panglimo Koto sampai di Muara Ketahun. Sesampainya disana, kemudian ia mendirikan sebuah dusun yang diberi nama Dusun Muara Dua ( sekarang Kualalangi ). Dan dusun itu kemudian berkembang menjadi sebuah negeri yang amat subur dan makmur. Disitulah Raja Bendar Panglimo Koto memerintah rakyatnya dengan amat bijaksananya. Sementara itu, anak buahnya yang menyertai dari negeri Indrapura disuruh menempati dusun disebelahnya, yaitu Dusun Raja.

Dusun itulah yang dulu pernah disinggahi Putri Serindang Bulan ketika hanyut terbawa oleh arus sungai yang amat deras. Sesuai dengan pesan ibundanya, maka Raja Bendar Panglimo Koto segera mengirim utusan ke negeri Indrapura untuk mengabarkan tentang keberhasilannya membangun sebuah dusun. Di damping itu, Raja Bendar Panglimo Koto juga membawakan bermacam bingkisan untuk kedua orang tuanya. Setelah menempuh perjalanan yang amat jauh, sampailah utusan dari negeri Muara Dua itu di negeri Indrapura. Maka segera menghadap Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan. Kemudian diceritakan kabar baik tentang Raja Bendar Panglimo Koto yang kini telah menjadi raja di negeri Muara Dua. Mendengar kabar baik dari anaknya, Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan menjadi amat suka cita hatinya.

Dari Indrapura Hingga Ketahun

Putri Serindang Bulan pun teringat akan janjinya. Sebagai seroang ibu yang amat bijak dan berpegang teguh pada janjinya, maka Putri Serindang Bulan ingin segera datang ke negeri anaknya. Sebetulnya Tuanku Raja Alam berat hati jikalau isterinya itu bepergian jauh. Akan tetapi, karena sudah berpegang janji, maka sang raja tak dapat menahannya. Pada hari yang baik, maka berpamitlah Putri Serindang Bulan kepada sang raja. Atas kebijaksanaan sang raja, Putri Serindang Bulan dikawal oleh segenap hulubalang dan anak buah secukupnya. Segala bekal untuk perjalanan telah dipersiapkan.

Demikian juga dengan beberapa tabung bambu berisi emas sebagai hadiah dari raja Indrapura. Maka segeralah rombongan Putri Serindang Bulan itu berangkat meninggalkan negeri Indrapura menuju Muara Ketahun. Konon kisah selanjutnya, sampailah Putri Serindang Bulan di sebuah pantai. Terlihat oleh Putri Serindang Bulan, ada sebuah pohon besar yang tumbuh dekat pantai itu yang berbentuk seperti muka orang. Oleh karena pohon tersebut seperti muka orang, Putri Serindang Bulan segera menyebut tempat itu dengan nama Muko-Muko. Sebelum Putri Serindang Bulan melanjutkan perjalanannya, disuruhlah anak buahnya untuk mencari sebuah sungai untuk membersihkan muka dan badannya. Kemudian ditunjukkanlah sebuah sungai yang ternyata airnya amat sedikit. Melihat air sungai yang amat sedikit itu, maka sungai itu di beri nama Sungai Air Dikit. Perjalanan segera dilanjutkan. Setelah menempuh perjalanan yang amat berliku dan banyak rintangan, sampailah rombongan Putri Serindang Bulan di wilayah Ketahun. Putri Serindang Bulan amat terkejut ketika memasuki sebuah dusun. Ternyata kedatangannya telah lama dinanti-nantikan oleh penduduk dusun itu. Oleh Putri Serindang Bulan, dusun itu kemudian diberi nama Dusun Suka Menanti.

Setibanya di Muara Dua, Putri Serindang Bulan segera disambut dengan suka cita oleh Raja Bendar Panglimo Koto. Setelah dapat bertemu kembali, ibu dan anak itupun segera melepas kerinduannya. Konon ceritanya, Putri Serindang Bulan cukup lama tinggal di Muara Dua, karena ingin mengenang kembali kisahnya. Putri Serindang Bulan juga mengunjungi tempat-tempat yang pernah dilaluinya. Putri Serindang Bulan cukup lama tinggal di negeri anaknya, dan masih belum ingin kembali ke Indrapura. Tiba-tiba timbul perasaan rindu kepada kedua orang tuanya dan kakak-kakaknya. Oleh sebab itulah, maka segeralah Putri Serindang Bulan pergi mengunjungi kedua orang tuanya serta keenam kakaknya. Terhadap kakaknya yang keenam, yaitu Karang Nio, Putri Serindang Bulan banyak menyimpan kenangan tersendiri. Oleh sebab itulah Putri Serindang Bulan tidak dapat melupakan kebaikan hati kakak keenamnya. Suatu hari, Putri Serindang Bulan pernah mengirimkan berbagai macam hadiah kepada anak-anaknya Karang Nio. Anak-anak Karang Nio pun menerimanya dengan suka cita. Bahkan Putri Serindang Bulan sering datang berkunjung ke tempat tinggal Karang Nio di Muara Aman.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Mohon di Klik

Entri Populer