Kamis, 27 Januari 2011

Beautiful Bali (My Photography)

Amazing Journey, March 2010

Sunset di Tanah Lot

Persembahyangan umat Hindu Bali di Pura Tirta Empul

Parasailing di Pantai Tanjung Benoa Bali

Pantai Dreamland Bali

Candi Kuning Bali


Photo : Sofian, Maret 2010

Selasa, 25 Januari 2011

Rindu Hati Riwayat Mu Kini ...

Konon katanya di Desa Rindu Hati ini adalah keturunan para raja dari Raja Sungai Serut. Awal dari semua ini karena Putri Dayang Perindu melarikan diri dari Muara Bengkulu ke Hulu Sungai (yang berada di Desa Rindu Hati saat ini). Sang Putri melarikan diri karena tidak mau dijodohkan dengan para raja yang berasal dari Aceh. Setelah melarikan diri, sang kakak dan beberapa orang kerajaan menyusul keberadaan putri ke hulu sungai. Sebelum menyusul sang putri, sang putri sempat memberikan pesan yaitu “jika ingin menyusulnya, bawalah satu ekor ayam dan satu ekor burung terkukur. Jika ayam dan burung tersebut berbunyi, berhentilah disitu dan buatlah desa. Saya akan tinggal disitu”. Ayam dan burung tersebut berbunyi ketika mereka sampai dilokasi Desa Rindu Hati sekarang. Disitulah mereka membuat desa. Dan Itulah awal mula Desa Rindu Hati.
Alur kisah asal mula desa du atei (baca duwatei = rindu hati) ini juga cocok dengan kisah yang di tulis pada litelatur- litelatur lama yang mencatat tambo dan sejarah Bangkahoeloe. Selain itu masih banyak dijumpai penduduk asli dengan nama depan Sutan.Di desa ini kita bisa menikmati jernihnya air sungai yang mengalir dengan tenang. Seakan air ini sangat senang berada di desa tersebut. Pagi yang cerah saat itu. Suara burung yang ribut membuat suasana pagi ini serasa lengkap. Masyarakat desa sudah mulai satu persatu berangkat ke ladang dan ke sawah yang berada tak jauh dari desa. Menyebrangi sungai yang ada dibelakang desa. Berjalan kaki tanpa alas kaki mengikuti jalan setapak yang berada disepanjang sungai. Terlihat sekali mereka hidup sangat harmonis dengan air sungai yang ada disana.

Di Desa Rindu Hati yang mayoritas penduduknya adalah Suku Rejang ini terdapat 6 anak sungai dan mungkin puluhan atau ratusan mata air. Anak-anak sungai yang ada ini akhir menyatu ke sungai besar yang ada di hulu kampung, yaitu Sungai Bengkulu.

Berada didesa Rindu Hati memang sangat menyenangkan. Selain suasana kampung yang masih asli juga terdapat sawah yang menghijau dengan dilatar belakangi oleh bukit-bukit. Desa ini memang berada di lembah didataran tinggi Bengkulu.

Namun kini, desa yang sangat indah dan khas sekali nuansa alaminya itu berubah. Desa ini mengalami ancaman kerusakan lingkungan. Pembabatan hutan sekitar, pembangunan rumah rumah batu permanen oleh penduduk yang sedang marak, tanpa memikirkan tata letak lingkungan,pengrusakan DAS (daerah aliran sungai) dengan alasan kemajuan dan modernnya zaman benar benar satu alasan yang tidak bisa di terima. Dan kini penduduk mulai menuai dampak kerusakan lingkungannya. Desa yang dahulunya tak pernah banjir, kini kerab kali menerima banjir kiriman saat musim hujan tiba.

Kerinduan anak rantau saat pulang ke desa ini hanya bisa menyesali, karena tidak tahu siapa yang bertanggung jawab mengatur semua ini di desa. Apakah pemda setempat berperan atau merestui pengrusakan lingkungan perlahan lahan di hulu sungai ini?

Kini sejak terbentuknya kabupaten baru yaitu Bengkulu Tengah, mau tak mau desa rindu hati masuk ke wilayah kapubaten baru ini lepas dari kabupaten semula yaitu Bengkulu Utara. Apakah nasib desa Rindu Hati yang sarat dengan makna sejarah Kerajaan sungai serut di masa lalu di biarkan hilang begitu saja? Apalagi di desa ini ada Situs Makam yang di keramatkan oleh masyarakat setempat yang kemungkinan besar berhubungan dengan Kerajaan Sungai Serut di masa lalu.

Sementara pejabat kabupaten Bengkulu Tengah masih carut marut berebut kekuasaan. Dan kini nasib Tanah Rejang semakin mengenaskan !

Sumber http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/02/asal-mula-nama-desa-du-atei-desa-rindu.html
Photo : Sofian 23012011

Senin, 24 Januari 2011

repost : 4 Saudara Pelestari Raflesia

KOMPAS.com - Mimpi mereka hanya satu, melihat bunga Rafflesia arnoldii tumbuh aman dan terjaga. Empat laki-laki bersaudara kandung itu tidak ingin anak cucu mereka atau dunia luar kelak hanya mengenal bunga eksotis itu dari foto atau gambar saja. Mereka ingin masyarakat tetap dapat datang ke habitat bunga raksasa itu di hutan-hutan Provinsi Bengkulu dan menikmati keelokannya.

Niat tulus itulah yang mendorong empat bersaudara kandung: Holidin (42), Zul Zum Dihamzah (40), Burmansyah (37), dan Jumadi (28) membentuk kelompok pelestari bunga langka Rafflesia arnoldii pada 2006. Kelompok itu mereka namakan Tim Peduli Puspa Langka (TPPL) Rafflesia arnoldii.

Sebelum membentuk TPPL, empat bersaudara dari tujuh bersaudara asal Desa Tebat Monok, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, itu sudah mengenal cukup lama bunga raflesia. Mereka pertama kali berjumpa dan melihat keindahan Rafflesia arnoldii pada 1985.

”Saat itu Jumadi masih empat tahun dan saya duduk di sekolah dasar,” ujar Burmansyah.

Burmansyah mengungkapkan, betapa mereka waktu itu sangat tertarik akan keberadaan bunga raksasa tersebut. Alhasil, mereka menjadi sering keluar masuk hutan, sekadar untuk mengetahui bentuk yang sesungguhnya dari tunas menjadi besar siap mekar. Kebetulan, desa tempat mereka tinggal terletak berdampingan dengan hutan lindung Rindu Hati dan Bukit Daun yang merupakan salah satu habitat raflesia.

Pada tahun 1993, saat mereka menginjak usia remaja, sama seperti masyarakat Kepahiang lainnya yang mengetahui ada bunga raksasa itu sedang mekar, mereka akan memasang tanda plang bertuliskan ”Ada Rafflesia Mekar”.

Papan pengumuman dipasang di pinggir jalan. Pengendara yang lewat atau wisatawan alam yang tengah melintas jalan penghubung Kepahiang-Kota Bengkulu pasti akan tertarik dan berhenti.

”Sudah pasti mereka akan berhenti dan meminta kami menunjukkan bunga yang tengah mekar itu,” ujar Burmansyah.

Keinginan kuat melestarikan dan menjaga raflesia muncul tahun 1998. Pada tahun itu mereka menemukan bunga bangkai Amorphophallus titanum yang tersisa di antara lahan kritis di hutan lindung dekat rumah mereka.

Mereka menyelamatkan umbi Amorphophallus dan membawanya ke rumah di Desa Tebat Monok. Umbi seberat 65 kilogram mereka pecah-pecah dan tanam lagi sehingga menjadi tanaman baru.

Dari penyelamatan itu sampai sekarang, mereka sudah menanam empat dari 11 spesies Amorphophallus yang tumbuh endemik di Sumatera. Awal penyelamatan Amorphophallus itu akhirnya mendorong mereka untuk sekaligus menyelamatkan bunga Rafflesia arnoldii. Apalagi, bunga itu sudah ditetapkan sebagai bunga langka melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993.

Penjagaan bunga

Zul menuturkan, tahun 1998-2000 mereka kembali masuk dan keluar hutan lindung. Mereka mencari titik-titik tumbuh raflesia, membuat barak pangkalan penjagaan sekaligus mempelajari secara otodidak proses pembungaannya.

”Tahun itu, bahkan, sampai sekarang, ada saja orang jahil dan merusak raflesia,” ujar Zul.

Zul menceritakan, pada 1998, tepatnya saat malam takbiran, ia baru dua jam meninggalkan raflesia yang tengah mekar. Saat kembali ke pangkalan yang ia bangun dekat bunga yang mekar, ia mendapati bunga berdiameter 85 sentimeter itu sudah hilang.

Selain itu, mereka juga sering mendapati masyarakat yang jahil mencungkil bunga, mencacah-cacah kelopak bunga, bahkan memotong akar bunga hingga mati. ”Saya sangat kesal waktu itu,” ujar Zul.

Namun, seiring niat tulus mereka, kegiatan mencari titik tumbuh, menjaga tunas hingga mekar, serta mempelajari Rafflesia arnoldii tetap mereka lakukan. Sebagai pelestari mandiri dan tidak mendapatkan bantuan pendanaan dari mana pun, kegiatan menjaga raflesia mereka lakukan setelah menyelesaikan pekerjaan di kebun atau ladang mereka.

Empat saudara itu juga masih mau membagi kebahagiaan melihat dan mengamati raflesia meski hanya sesaat. Setiap kali ada bunga mekar, mereka pasti menginformasikan hal tersebut.

Ribuan wisatawan mancanegara dan domestik, yang datang berkunjung ke Tebat Monok, pasti meminta dipandu oleh empat saudara itu untuk melihat raflesia di dalam hutan. Sampai hari ini, ada 21 titik tumbuh raflesia yang mereka jaga.

”Kalau lokasi tempat 21 titik tumbuh itu dipastikan aman, medannya sulit dan jauh dari jalan,” ujar Zul.

Zul mengungkapkan, dengan melihat langsung Rafflesia arnoldii, selain menumbuhkan kepedulian, juga sekaligus meluruskan pemahaman masyarakat. Selama ini masyarakat memahami raflesia sebagai bunga bangkai dan itu salah. Bunga bangkai adalah Amorphophallus titanum.

Uji coba


Pada tahun 2003 empat bersaudara itu memindahkan area pelestarian Amorphophallus ke lahan kebun di tepi jalan lintas Kota Bengkulu-Kepahiang, Desa Tebat Monok, Kepahiang. Lahan itu di belakang rumah Zul itu itu diperoleh dari kedua orangtua mereka, Syamsudin (70) dan Sihawati (65), sebagai bentuk dukungan atas kegiatan anak-anaknya. Dengan adanya lahan itu, mereka juga bermimpi bisa menumbuhkan raflesia.

Jumadi menuturkan, tahun 2006, saat memutuskan membentuk kelompok pelestari bernama TPPL, mereka sudah mempelajari raflesia tumbuh di batang atau liana yang rebah di tanah dan berakar, bukan dari spora. Batang tersebut juga tumbuh dekat dengan sumber air atau di tanah yang mengandung air.

”Begitu lamanya waktu yang dibutuhkan satu bunga raflesia untuk mekar beberapa hari,” ujar Jumadi.

Ketika TPPL terbentuk dan yakin dengan pengamatan mereka selama ini, empat bersaudara itu berusaha menumbuhkan liana batang raflesia itu, di kebun di belakang rumah Zul. Mereka membuat setek dari batang itu dan menanamnya di kantong plastik (polybag). Beberapa setek kini sudah tumbuh.

Sayangnya, upaya pelestarian itu belum mendapat respons dari Pemkab Kepahiang atau Pemprov Bengkulu. Namun, tindakan pelestarian TPPL sudah mendapatkan respons dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu. BKSDA menilai positif tindakan itu dan mendukung mereka. Sementara Pemkab Kepahiang masih sebatas mengusulkan TPPL sebagai penerima Kalpataru 2010.

Mereka tidak terlalu berharap pada bantuan. Empat kakak-beradik itu tetap berpegang teguh pada niat tulus, melestarikan Rafflesia arnoldii yang sekarang nyaris punah.

BIODATA

• Nama: Holidin • Lahir: Bengkulu Selatan, 14 Mei 1967

• Nama : Zul Zum Dihamzah • Lahir: Bengkulu Selatan, 13 Mei 1970

• Nama: Burmansyah • Lahir: Bengkulu Selatan, 7 Agustus 1973

• Nama: Jumadi • Lahir: Kepahiang, 24 April 1981

• Pendidikan: Semua lulus SMA Kepahiang

• Pekerjaan: Petani kopi dan pelestari bunga Rafflesia arnoldii
--------------------------------------------------------------------
REPOST : Helena F Nababan dan Agus Mulyadi. Senin, 8 Maret 2010 | 09:24 WIB http://forum.kafegaul.com/showthread.php?t=215943

Minggu, 23 Januari 2011

Ternyata Raflesia itu Belum Mekar

Ekspedisi Hutan Jilid 2
Kabar simpang siur tentang mekar sempurnanya bunga Rafflesia di hutan Kepahiang membuat saya dan teman-teman penasaran dan melanjutkan ekspedisi ke hutan Benteng dan Kepahiang jilid 2, di komandoi oleh Prasetyo Janjang akhirnya kami sepakat untuk menjelajah pada hari Sabtu, 22 Januari 2010, pukul 13.00 WIB kita berkumpul di basecamp. Akhirnya saya, Prasetyo Janjang, Nodhi, Yulius Onasis, Nodly Kurniawan dan Icha Syarif pun berangkat.
Beberapa temen di dunia maya telah men-tag beberapa photo knop Raflesia yang tumbuh, dan mengatakan kepada kami bahwasannya bunga Raflesia itu belum mekar dan ada juga yang mengatakan sudah mekar. Sebelum melihat secara langsung kami belum bisa menyimpulkan apa-apa, yah ... resiko sebuah ekspedisi.

Sampai di lokasi kami melihat ada keganjilan pada penulisan nama Raflesia pada papan petunjuk, kami senyum-senyum melihatnya, papan petunjuk di tulis Bunga "Rapresia" yang seharusnya Rafflesia. Kami pun tak banyak berkomentar ketika itu karena kami ingin buru-buru naik ke atas gunung melihat langsung bunga itu.
Setelah mendaki sekitar kurang lebih 40 m, kami menemukan Raflesia yang ternyata memang belum mekar, sedikit kecewa sih, tapi inilah resikonya sebuah ekspedisi, misi harus tetap berlanjut, setelah mengambil beberapa foto kami pun beranjak turun kembali ke bawah karena hujan mulai turun dengan derasnya. Yang menarik dari Raflesia kali ini adalah, tumbuhnya tanaman jahe hutan yang tumbuh berdampingan dengan Raflesia. Jahe hutan ini baru juga berbunga tapi belum mekar semuanya.
Cikal bakal bunga Raflesia tumbuh juga tidak jauh dari Raflesia pertama, Raflesia ini masih kecil dan kelihatannya masih membutuhkan waktu yang lama untuk terus tumbuh besar . Penduduk setempat yang kami tanya tidak bisa memastikan kapan bunga ini akan mekar sempurna, mereka hanya mengira-ngira kemungkinan satu bulan kedepan baru mekar. Ya... mudah-mudahan saja bunga ini bakal mekar nantinya dan kami berharap dapat terus di pantau oleh peduduk setempat agar tidak diganggu oleh tangan-tangan jahil.

Bagi rekan-rekan yang ingin melihat bunga ini bisa langsung mengunjungi lokasinya di Hutan Kepahiang desa Tebat Monok dekat air mancur. Di pinggir jalan juga telah terpasang papan nama untuk memudahkan kita menemukan lokasinya. (Sofian)




LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Mohon di Klik

Entri Populer